Selasa, 25 Mei 2010

cerpen asik

The Girl’s Melody
Karya: Dinar Syarita Bakti

“Ini?”
“Bukan!”
“Yang ini?”
“Bukan!!”
“Nah, pasti yang ini?”
“Bukan!! Bukan yang itu!!”
“Terus yang mana dong! Gue jadi pusing, nih.”
“Baru segitu aja lo udah pusing, apa lagi gue.”
Weny terus saja mengaduk-aduk lemarinya. Sedangkan Frina sudah menyerah dan malah tidur-tiduran di kasur Weny.
“Seberapa berharga sih Wen partitur yang lagi lo cari?” Tanya Frina dengan wajah yang tanpa dosa. Kalau misalnya partitur lagu itu nggak berharga, ngapain Weny minta Frina malam ini menginap di rumahnya.
“Menurut lo, kalau partitur itu nggak berharga, ngapain gue nyuruh lo malam ini nginep di rumah gue? Terus ngapain kita ngaduk-ngaduk kamar gue??” Mata Weny melotot.
“Oh, berarti partitur itu penting banget, ya?”
Weny menepuk jidatnya sendiri. Lalu mengabaikan Frina yang sekarang udah memeluk salah satu guling Weny dengan mata yang merem melek menahan kantuk dan akhirnya bener-bener merem.
“Aduh, dimana sih partiturnya!!!!”

“STOP! STOP!!”
Weny menghentikan permainan biolanya. John, pembimbing Weny menggelengkan kepala. Tanda bahwa latihan kali ini tidak berjalan lancar. John mengambil biolanya dan memainkannya. Suara yang keluar mendayu dan menusuk ke hati. Melodi yang mengalun menggambarkan kebingungan dan kehampaan.
“Kamu harus bermain dengan hati, Wen.” Ucap John. “Permainan kamu tadi terdengar tak bernyawa. Hanya melodi-melodi sumbang.”
Weny tertunduk. Ia melihat wajahnya di cermin. Seorang perempuan yang menggenggam sebuah biola. Dan biola itu terlihat hampa ditangannya. Apakah ini bukan bakatnya?
“Weny, seminggu lagi resital. Waktu latihanmu hanya empat hari lagi. Aku nggak mau kamu latihan kayak orang gila sehari sebelum pentas.”
“Ya, aku tau, John.”
“Lagu apa yang mau kamu mainkan?”
“Ada sebuah partitur lagu yang dibuat bundaku sebelum beliau meninggal.”
“Kedengaran menarik. Coba kau mainkan!” Pinta John.
“Tapi, aku nggak tau dimana Bunda menyimpan partitur lagu itu.”
“Astaga!!” Wajah John terlihat agak shock. Lalu lelaki yang sudah berumur itu terlihat mengatur napasnya lagi. Mencoba tetap tenang. “Baiklah, apa kau pernah mendengar lagu yang ada di partitur itu dimainkan?”
“Sering, ketika aku masih kecil.”
“Percayakan pada ingatanmu. Dan mainkan biolamu. Coba kau ingat-ingat setiap melodinya. Biarkan jari jemarimu menari.”
“Tapi aku tidak sehebat itu, John.”
“Percaya padaku, kau pasti bisa. I trust you. So, you have to try.” John tersenyum. Ia adalah pemain biola yang tak perlu ditanyakan lagi kemampuannya. Bagaimana John bisa begitu yakin dengan dirinya, sedangkan Weny sendiri tidak begitu yakin dengan dirinya sendiri.
“Mainkan lagu itu dengan cinta.” Ucap John.
Weny mengangguk. Jam latihan telah selesai. Semua murid diperbolehkan pulang. Weny menelusuri lorong sekolahnya. Setiap mading kelas memasang poster konser tahunan yang selalu diadakan di sekolah musik ini. Nama Weny tertulis sebagai salah satu penampil. Ia akan bermain solo. Tanpa pengiring. Hanya biolanya yang terdengar mengalun.
Weny tak habis pikir, apa yang dipikirkan John saat mengajukan dirinya. Padahal masih banyak anak lain yang permainan biolanya jauh lebih baik dari Weny.
“Wen!!” Suara cempreng Frina memecahkan lamunan Weny. “Gimana latihannya?”
“Jelek.” Jawab Weny singkat.
“Owhh.” Wajah Frina menampakkan kekecewaan. “Tetep SEMANGAT!!!” Teriak Frina. Dengan otomatis semua orang melihat kearah mereka.
“Stt, Frina!!”
“Hehehe. Wen-wen mau nganterin Frina nggak?”
“Mau kemana?”
“Mau fitting baju.”
“Tapi, makan dulu ya. Laper.”
“Ok, deh. Yuk!!!” Frina menarik tangan Weny ke kantin. Semangkok bakso dan jus alpukat sudah cukup menggiurkan untuk mengisis perut yang keroncongan.

“Gimana, Wen?”
“Lucu.”
Frina terlihat puas dengan bajunya. Rok rample hitam berpita putih dan kemeja putih. Frina masuk ke dalam tim paduan suara yang akan menyanyikan lagu ost. Final Fantasy VII, Eyes On Me. Orkestra yang akan mengiringanya adalah orkestra milik Adi M.S.
“Lo udah nyari baju belum, Wen?”
“Belum.” Jawab Weny datar.
“Ya ampun, lo kan mau tampil solo. Harus dipersiapin dari sekarang dong!!!”
“Gue bingung mau pake apa. Lagu yang mau gue mainin aja, gue nggak tau. Partiturnya belum ketemu juga, Frin.”
“Jadi, lo bener-bener mau mainin lagu di partitur itu?”
“Ya iyalah. Dulu Bunda selalu berharap gue bisa jadi pemain biola. Biasanya gue pentas biola keroyokan, sekarang tunggal. So, it’s time. Ini saatnya buat mainin lagu itu.”
“Emangnya itu lagu apaan sih?”
“Gue nggak tau judul lagunya apa, yang gue tau lagu itu selalu Bunda mainin buat gue.”
“Malam ini gue nginep di rumah lo lagi, ya?”
“Hah!! Nginep lagi?”
“Iya!! Kita cari lagi partitur lagu itu. Gimana?”
“Ok! Thanks ya, Frin. Lo emang best friend gue.” Weny memeluk Frina. Dan malam itu juga mereka mengaduk dan mengacak-acak kamar juga beberapa lemari. Melihat kembali file-file lama yang terlantar di sudut gudang penuh debu.


“Wen!!” Frina menggoncang-goncangkan tubuh Weny. “Weny!!!”
“Apaan sih?”
“Ini siapa, Wen?” Frina menyerahkan sebuah foto yang sudah kusam. Tanpa bingkai. Hanya selembar foto tua. Warna kertasnya pun sudah kekuningan.
Dalam foto itu, ada potret seorang gadis muda yang sedang bermain biola. Rambut hitam panjangnya tergerai. Tubuhnya tinggi semampai. Memakai gaun hitam. Jari jemarinya lentik. Wajahnya meneduhkan dihiasi seutas senyuman. Anggun dan mengagumkan.
“Ini….. Bunda.”
“Amazing.” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibir Frina. Dilihatnya foto itu lekat-lekat. “Bola matanya Wen.”
“Kenapa?”
“Itu bola mata lo, Wen. Lihat, deh!!!” Frina menunjuk bola mata gadis yang ada di foto itu. “Ini tatapan yang selalu gue liat waktu lo bermain biola.”
Weny memperhatikan bola mata Bundanya. Tiba-tiba ada kerinduan yang perlahan menelusup ke hatinya. Kerinduan akan keberadaan seorang Bunda disisinya. Ia rindu bola mata itu. Meneduhkan dan selalu memberikan kekuatan pada seorang Weny.
Weny hanya mengenal Bunda sampai umur 6 tahun. Bunda meninggal karena kanker rahim yang dideritanya. Tak ada air mata yang ia keluarkan saat Bunda meninggal. Karena ia tidak mengerti. Ia tidak mengerti kenapa Bunda ditutupi olah kain putih dan ditidurkan di tanah. Lalu orang-orang menimbunnya dengan tanah lagi. Hingga ia tidak bisa melihat Bunda. Nama Bunda pun ditulis di sebuah papan dan ditancapkan digundukan tanah yang sudah menimbun tubuh Bunda. Bahkan Ayah meninggalkan Bunda sendirian dan mengajak Weny pulang ke rumah. Padahal Ayah tidak pernah meninggalkan Bunda sendirian.
“Wen??”
“Eh.” Weny tersadar dari lamunannya.
“Lo nangis??” Frina menghapus air mata Weny.
“Eh, enggak kok.”
“Yang sabar ya, Wen.” Frina mengelus punggung sahabatnya dengan lembut.
Weny mengangguk dan meletakkan foto Bunda di kantung baju kodoknya. Ia berniat untuk membingkai dan meletakan foto itu di kamarnya.
“Frin, dah dulu yuk nyarinya. Udah jam setengah sepuluh, nih. Bentar lagi Ayah pulang. Bisa-bisa Ayah marah kalau tau malam-malam gini kita ada di loteng dan ngaduk-ngaduk kardus.”
“Ya udah. Kita turun.”
Tepat sekali saat mereka turun dari loteng, ayah Weny pulang. Ia agak bingung melihat di rambut putrinya ada sarang laba-laba.
“Kamu abis ngapain, Sayang?”
“Hm, abis ngeberesin kamar, Yah.”
“Jam segini ngeberesin kamar?”
“He-eh. Abis udah lama nggak ngeberesin kamar. Aji mumpung ada Frina yang ngebantuin.”
“Iya, Om.”
“Oh, dirambut kamu ada sarang laba-laba, tuh! Bersiin dulu, gih!”
“Eh, iya.”
Weny dan Frina pun ngibrit ke kamar mandi untuk membersihkan sarang laba-laba di rambutnya. Jangan-jangan laba-labanya juga ikut nimbrung lagi di rambut mereka.
“Frina!!! ADA LABA-LABA DI RAMBUT LO!!”
“AHHH!!!”
Tuh kan!


“Yah.”
“Apa?” Ayah mengalihkan perhatiannya dari tv yang menayangkan pertandingan sepak bola ke Weny yang tiba-tiba muncul.
“Weny boleh nanya sesuatu nggak?”
“Mau nanya apa? Kamu jam segini belum tidur? Besok telat, lho!”
“Nggak kok, Yah.” Weny menunjukkan sesuatu kepada Ayahnya. “Ini Bunda ya, Yah?”
Ayah mengambil foto yang ditunjukan Weny. Mengamatinya sesaat. “Iya, ini Bundamu. Cantik, ya?”
“Aku mau jadi seperti Bunda, Yah. Bisa nggak, ya?”
“Bisa, dong.”
“Yah, Sabtu ini resital pertamaku. Ayah ingat nggak melodi yang suka Bunda mainkan padaku waktu aku kecil dulu?”
“He-eh. Ayah ingat.”
“Aku mau memainkan melodi itu nanti. Tapi, sampai sekarang aku belum tahu partiturnya kayak apa.”
Ayah menarik napas panjang. Ada beban berat yang terpancar di wajah beliau. Sepertinya ada yang Ayah sembunyikan dari Weny. Dan Weny merasakan hal itu.
“Kemari, Nak. Ikut Ayah.” Ayah menggandeng tangan Weny.
“Ini lemari Bunda kan, Yah?” Weny kaget bukan main ketika Ayahnya membuka lemari yang sudah bertahun-tahun tidak dibuka itu. Lemari ini masih tetap pada posisinya. Disudut kanan kamar Ayah dan Bunda.
“Mungkin, sudah saatnya.” Ucap Ayah.
Lemari itu terbuka. Ada bertumpuk-tumpuk baju Bunda yang tersimpan rapi. Semerbak harum parfum Bunda menyentuh hidung Weny. Kerinduannya datang lagi.
“Ini, bukalah.” Pinta Ayah.
Weny membuka sebuah tempat biola yang diserahkan Ayah padanya.
“Biola milik, Bunda.” Ucapnya.
“Ya.”
Weny tidak menyentuh biola itu. Ia hanya memandanginya. Melihat biola itu saja sudah cukup membuat banyak kenangan tentang Bunda berkelebat riang di kepalanya. Ia merasa Bunda ada dihadapannya dan memainkan melodi indah itu untuknya. Mengalun perlahan dan menyejukkan hati.
“Mainkan partitur ini dengan biola Bunda.” Ayah menyerahkan tiga buah kertas partitur tua. Tangan Weny bergetar menyentuh partitur-partitur itu. “Partitur ini hasil karya Bunda. Ini asli tulisan tangannya.”
Weny hanya diam. Berulang-ulang ia memandang bergantian antara partitur dan biola Bunda. Sekalipun sudah disimpan cukup lama, biola Bunda masih terlihat bagus. Pasti Ayah merawatnya dengan baik.
“Mainkan, Nak.”
Dengan perlahan, Weny mulai memainkan biola itu. Melodi-melodi indah itu kembali terdengar. Mengalir bagaikan air. Indah dan menggugah jiwa.
“Biola.” Ucap Bunda.
“Bi..oo..la..” Weny kecil mengikuti ucapan Bunda.
Bunda tesenyum. “Weny suka biola?”
“He-eh. Weny suka biola.”
“Kalau sudah besar nanti, Weny mau jadi pemain biola?”
“Pemain biola?” Tanya Weny kecil bingung.
“Seperti Bunda.”
“MAU!! Weny mau seperti Bunda.”
Weny kecil memeluk Bunda. Hangat dan nyaman. “Weny sayang Bunda.” Diciumnya kening Weny oleh Bunda. Seperti yang sering Bunda lakukan ketika ia beranjak tidur.

Nada-nada yang indah selalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku, tak akan jadi deritanya
Tangan halus dan suci, telah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup, rela dia berikan

Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang

Oh, Bunda ada dan tiada dirimu
Kan selalu, ada didalam hatiku
(Bunda, Melly Goeslaw)

“Weny sayang Bunda.”
Weny memeluk biola Bunda. Sama eratnya ketika Weny memeluk Bunda dahulu. Begitu hangat dan begitu nyaman.


“Untuk Bunda.” Kata yang diucapkan Weny diakhir permainan solo biolanya.
Standing applause diberikan kepada gadis bergaun hitam dengan biola Bunda ditangannya. Melodi yang ia mainkan berhasil menyihir sekian banyak orang yang menyaksikannya. Lembut, mengalun indah, memberikan keteduhan, dan kerinduan akan sesuatu yang berharga.
“Dia anakkku.” Suara seseorang dari tribun penonton. Ia pun maju dengan sebuket mawar merah. Melangkah melewati para penonton dan naik keatas panggung.
“Untuk anakku tercinta, Weny.”
“Dan untuk Bunda tercinta. Dia akan selalu ada dihati kita.”

Kali ini ku sadari
Aku telah jatuh cinta
Dari hati ku terdalam
Sungguh aku cinta padamu

Cintaku bukanlah cinta biasa
Jika kamu yang memiliki
Dan kamu yang temaniku, seumur hidupku
Seumur hidupku..

Terimalah pengakuanku
Percayalah kepadaku
Semua ini kulakukan
Karena kamu memang untukku
(Bukan Cinta Biasa, Afgan)


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar