Selasa, 25 Mei 2010

cerpen asik

Grandma's rule
Karya : Dinar syarita Bakti


“Ayah selalu saja begitu!! Lebih mementingkan Nenek daripada aku. Ayah udah berubah, bukan lagi Ayah yang seperti dulu. Ayah udah nggak sayang sama aku lagi!!!”
Dengan kesal Vio menonaktifkan hp miliknya. Ayah pasti akan menelepon balik, begitu pikirya. Karena setiap pertengkaran lewat telepon ini terjadi, Ayah akan melakukan hal yang sama. Menelepon balik. Padahal Ayah pasti tahu dan hafal benar kalau Vio akan menonaktifkan hp miliknya. Selalu begitu. Selalu. Selalu. Dan selalu.
“EGOIS!!! AYAH EGOIS!!!”
Air mata Vio mengalir di pipinya. Deras sekali. Lebih deras dari air hujan yang jatuh dari langit. Hatinya bergemuruh hebat, lebih hebat dari guntur yang baru saja terdengar.
“Hujan deras dan Ayah nggak mau menjemputku di sekolah. Padahal Ayah tau kalau aku paling takut petir. Hiks. Hiks. JAHAT!!!” Teriak Vio. Suaranya kalah dengan suara derasnya hujan.
“Ayo aku antar pulang!”
Suara seorang pemuda mengagetkannya. Suaranya begitu lembut, bahkan melembutkan suara guntur di langit sana. Sebuah jas hujan warna hitam yang dibawa sang pemuda sudah siap melindunginya.
“Aku naik sepeda, Don.” Jawab Vio dengan suara serak.
“Iya, aku tau kok. Biar aku yang bonceng kamu. OK?”
“Tapi…..”
“Udahlah, nggak usah kebanyakan mikir. Kita hujan-hujanan. Asyik kok!!” Dengan bersemangat Doni mengambil sepeda milik Vio. Tapi Vio hanya diam ketika sepeda itu sudah siap di depan matanya. Keraguan menghiasi wajah ayunya.
“Kamu nggak bakal sakit. Hujannya deres banget. Cuma gerimis yang bikin orang sakit. Lagipula kamu pake jas hujan.”
Vio tetap diam Beberapa detik kemudian suara guntur terdengar. Dan mata Vio terpejam. Dengan agak ketakutan ia membuka matanya lagi. Tentu saja setelah suara guntur itu hilang.
“Kamu takut suara guntur?”
Vio mengangguk. Ia benar-benar ketakutan.
“Tenang aja, aku bakal jagain kamu. Aku nggak akan membiarkan kamu ketakutan. Kalau perlu aku akan ngebut supaya kamu cepet sampai rumah.”
Vio masih saja ragu.
“Itu bukan gombalan, Vi. Itu sebuah janji. Ayo!” Doni mengulurkan tanganya. Awalnya Vio mau menyambutnya. Tapi ia urungkan karena lagi-lagi suara guntur terdengar. Lebih keras dari yang tadi.
“Kamu harus kalahkan rasa takutmu sendiri, Vio. Kamu nggak sendirian. Aku nemenin kamu. Percaya sama diri kamu sendiri, kalau setelah ini kamu berhasil mengalahkan guntur itu, maka selamanya kamu akan menang. Selamanya kamu nggak akan takut sama guntur lagi!!!”
Satu detik. Dua detik. Tiga detik Empat detik Lima detik.
Disambutnya uluran tangan Doni. Dan mereka menerjang hujan. Mengalahkan suara guntur. Mengalahkan cahaya kilat. Yang terpenting bagi seorang Vio.
Mengalahkan ketakutannya sendiri.


“Vio, kamu mau kemana?” Nenek menghentikan kegiatan menyulamnya sejenak ketika melihat cucunya menggunakan gaun merah dengan potongan diatas lutut.
“Ke ultah temen.” Jawab Vio sekenanya.
“Ke pesta dengan pakaian minim seperti itu?” Nenek memandang Vio dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu mengelengkan kepalanya. “Masuk kamarmu dan ganti pakaian dengan yang lebih sopan.”
“Aku udah telat, Nek.”
“Nenek nggak mau tahu!! Kamu harus ganti pakaianmu atau nggak Nenek izinkan untuk pergi.” Ancam Nenek dengan suara yang tegas.
“Nek, temen-temenku juga pake baju kayak gini. Bahkan ada yang lebih seksi dari ini. Kayak begini sih nggak seberapa, Nek!!” Vio mulai ngotot.
“Mereka bukan cucu Nenek. Dan Nenek nggak mau punya cucu yang mengumbar tubuhnya secara berlebihan. Perempuan itu harus punya harga diri.” Nenek juga nggak mau kalah.
“Oh, jadi Nenek pikir aku nggak punya harga diri. Begitu??”
“Nenek bicara soal attitude berpakaian Vio, dan kamu sudah melanggarnya dengan memakai gaun seronok itu.”
“Bilang aja aku udah mirip perempuan yang nggak punya harga diri, Nek!!! Iya kan??? Memang, Nenek selalu BENAR. Dan aku selalu saja salah.”
“Kamu itu memang nggak pernah mau mengerti, VIO!!! Kamu selalu ingin dimengerti dan dimengerti, tapi kamu nggak mau mengerti dan mendengarkan orang lain.”
“CUKUP!! Vio masuk kamar kamu!!! Ayah mencabut izin kamu buat hadir ke pesta ulang tahun Doni.” Akhirnya Ayah yang mendengar pertengkaran antara cucu dan nenek itu mengambil alih suasana yang mulai tak terkendali.
“AYAH!!!” Vio menolak keras keputusan yang dikeluarkan oleh Ayahnya. “Apa maksud Ayah??”
“Masuk kamar dan renungi apa yang sudah kamu ucapkan tadi!!!”
“Ta…ta..pi, Doni???”
“Nggak ada! Nggak ada pesta ultah Doni!!!!”
“ARGHH!!!”
Vio berlari menuju kamarnya. Make up-nya luntur oleh air mata. Dibantingnya pintu kamar dengan keras. Hingga seluruh penghuni rumah itu kaget bukan main.
“VIO!!!” Bentak Ayah.
“Sudah, Yah. Biarkan dia sendiri dulu.” Bunda menenangkan Ayah yang hampir meledak karena sikap Vio yang seperti anak kecil.
“Dia perlu diajari sopan santun!!! Andai umurku masih ada untuk 10 tahun kedepan, akan ku bawa dia pulang ke Tanah Jawa dan kubuat dia seperti seorang Putri Jawa sesungguhnya.” Nenek berjalan perlahan dengan tongkatnya dan berlalu meninggalkan Ayah dan Bunda yang tertunduk sedih.


“Nenek udah kelewatan. Sangat kelewatan!! Ayah malah ikut-ikutan, bukannya membelaku!!”
Dengan tenaga yang tersisa Vio mengemasi pakaian dan beberapa barangnya ke dalam tas ransel. Dilihatnya foto keluarga yang baru beberapa bulan lalu diambil, ketika Nenek baru datang dari Jawa dan memutuskan menetap di Jakarta, menuruti permintaan Ayah, putra sulungnya.
Vio tersenyum sangat manis. Dia adalah putri satu-satunya yang dimiliki Ayah dan Bunda. Juga cucu kesayangan Nenek. Kini senyum itu hilang dari bibirnya. Lenyap disapu angin dan dibawa waktu.
Semenjak Nenek berusaha mengatur hidupnya. Hidup yang menurut Vio sudah sempurna. Ketika Nenek meminta Ayah berhenti mengantarkan Vio yang sudah kelas XI SMA ke sekolah dan menyuruhnya naik sepeda, karena jarak rumah ke sekolah cukup dekat. Dan Ayah menyetujuinya.
Ketika Nenek memaksanya masuk organisasi sekolah dan mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS mengingat pengalaman organisasi itu sangat penting saat terjun ke masyarakat secara langsung. Dan Ayah menyetujuinya.
Ketika Nenek membelikannya 3 pasang seragam baru komplit dengan dasi dan sabuk yang menurut Nenek lebih pantas digunakan oleh seorang siswa daripada baju seragam yang dimiliki Vio. Karena menurut Nenek baju seragam Vio sudah kekecilan. Bahkan Nenek membelikannya sepasang sepatu pantople yang sangat manis. Sayangnya menurut Vio sepatu itu norak. Karena lagi-lagi Ayah menyetujuinya, Vio dipaksa harus memakai semua itu.
Ketika dengan pedenya Nenek membuatkan surprise nasi tumpeng di ultah Vio yang ke 16 dan membawanya ke sekolah. Saat itu pelajaran matematika Pak Gino, guru yang dikenal paling killer di sekolah. Yang ternyata adalah mantan pacar Nenek kala SMA dulu. Maka terjadilah acara reuni mendadak dan percakapan panjang dengan bahasa aneh yang katanya sih bahasa Jawa. Kejadian ini membuat Vio mendapat julukan sebagai ‘Cucu Pak Gino.
Dan masih banyak hal-hal lain yang dirubah oleh Nenek. Terutama Ayah. Vio tak kenal Ayahnya yang sekarang. Ayah lebih mendengarkan kata-kata Nenek dibandingkan mendengarkan isi hatinya. Ayah mulai menyalahi semua yang dilakukan Vio, jika itu salah menurut Nenek.
PRANGG!!!
Dibantingnya foto itu. Membuat frame kacanya pecah berantakan di lantai kamar Vio.
Vio turun ke lantai bawah dan langsung keluar dari rumah. Sebuah taksi sudah siap menunggunya didepan rumah. Ia akan menginap di rumah Shania, sahabat karibnya. Salah satu orang yang tak berubah di hidupnya.

Tok. Tok. Tok.
“Vio, bangun sayang sudah siang. Katanya mau jogging sama Ayah?”
Tak ada jawaban.
“Vio, sayang, bangun dong!! Nanti kita kesiangan lho!”
Tak ada jawaban.
Cklek.
“Vio?” Ayah bingung mendapati kamar Vio berantakan. Beliau juga tidak menemukan putri semata wayangnya.
“Aduhhh.” Sebuah pecahan kaca melukai kaki Ayah. Pecahan kaca frame foto keluarga yang berserakan di lantai.
“VIO!!!!” Barulah Ayah sadar kalau putri kesayangannya kabur dari rumah.
Nenek melihat Ayah begitu kalap menuruni tangga. Lalu tergesa-gesa mengambil kunci mobil.
“Ada apa, Hans??”
“Vio, Ma. Vio.”
“Ada apa dengan cucuku?” Ekspresi bertanya Nenek datar saja.
“Vio kabur dari rumah!!!!”
“HAH!!! Ap..ap..apa???” Tiba-tiba Nenek kesulitan bernafas. Aliran darahnya terasa deras mengalir membuat kepalanya pusing bukan main. Detik berikutnya Nenek jatuh pingsan.
“MAMA!!!!!”

“Please, San, jangan kasih tau Ayah kalau gue disini!!!” Vio memelas pada sahabatnya. Karena malam tadi Vio belum sempat bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia sudah terlalu lelah untuk bercerita.
“Yang lo lakuin ini nggak baik, Vi. Lo lari dari masalah, harusnya lo hadapi masalah itu. Dengan cara kayak begini lo cuma akan membuat panjang daftar masalah. Bikin semua orang rumah khawatir.” Ucap Shania seraya menyerahkan satu pack tissue baru pada Vio.
“Ini udah kelewatan, Shan!!! Gue merasa tertekan. Semua yang gue lakuin nggak ada bener-benernya dimata Nenek. Akhirnya Ayah pun ikut-ikutan menghakimi gue. Eh, Bunda bukannya ngebelain gue, malah ikutan juga. Cuma bahasanya aja yang dialusin.”
Shania menarik napas dalam.
“Vi, sebagai sahabat yang baik, gue mau lo tau satu hal yang lo nggak sadari. Karena lo terlalu melihat semua ini dari sisi jeleknya. Lo percaya kan sama gue?”
Vio mengangguk. “Lo sahabat gue dari kecil. Gue yakin lo bakal ngasih yang terbaik buat gue.” Shania tersenyum.
“Berdiri, Vi! Terus lo liat diri lo di cermin lemari gue!!” Pinta Shania.
Vio nggak ngerti apa yang dimaksud sahabatnya ini. Wajah Vio kan lagi kucel, matanya sembab, rambutnya acak-acakan. Pokoknya awut-awutanlah!! Kok disuruh ngaca??
“Lo yang dulu dan sekarang jauh berbeda, Vi. Lihat cara berpakaian lo! Sopan, cantik dan chic. Lo nggak ngumbar tubuh lo. Itu artinya lo menghormati diri lo sendiri.”
Vio menatap dirinya seksama di cermin. Ya, ia menemukan perbedaan itu. Ia sendiri kaget. Kenapa cara berpakaiannya seperti ini? Yang ia tahu dengan cara berpakaiannya seperti ini, sudah nggak ada lagi cowok iseng yang ngegodain dia di jalan.
“Lihat cara lo berdiri. Menurut gue anggun. Badan lo nggak bongkok. Tegap dan anggun, Vi. Jujur saja, pas gue ngikutin cara lo berdiri yang kayak begini, malah bikin badan gue pegel.”
Ya, Shania memang benar. Vio merasa anggun dengan cara berdirinya seperti ini.
“Dan satu hal yang lebih penting dari segalanya. Sekarang lo udah jadi orang yang care sama orang lain. Lo mau berbagi. See, sekarang lo udah jadi Wakil Ketua OSIS. Awalnya gue juga kaget sama keputusan lo buat masuk OSIS bahkan sampai nyalonin diri sendiri buat jadi Ketua OSIS, walau pun karena terpaksa. Lo tau kesimpulannya apa, Vi?”
Vio menatap mata Shania tajam. Ada sejuta arti disana.
“Vio yang gue kenal sekarang, jauh lebih baik dari Vio yang dulu!!!”
Ces.
Ada setetes air yang turun di hati Vio yang gersang. Gersang karena kekesalan dan emosi yang tak terkendali. Kini semua itu seolah lenyap. Hati yang gersang berubah menjadi hamparan rumput hijau yang luas. Menyejukkan.
“Dan tanpa lo sadari, ini semua karena ulah Nenek lo yang setiap tuntutannya malah melekat dalam diri lo. Bahkan menghasilkan The New Vio. Vio yang gue rasa justru lebih memahami, mengerti dan menghargai akan arti hidup ini dibandingkan dengan Vio yang dulu.”
Hati Vio berdesir mendengar semua ucapan Shania. Perlahan Vio mendengar sayup-sayup hatinya berbisik, bahwa semua itu benar adanya.
“Benarkah?” Tanya Vio dengan mata berkaca-kaca.
Shania mengangguk.
“Iya, benar.” Ucap Doni dari ambang pintu.
“Doni??”
“Sorry, Vi, gue yang ngasih tau Doni kalau lo ada disini.”
“Don, maaf soal semalam. Aku….”
“Nggak apa-apa kok. Aku ngerti.” Doni tersenyum manis sekali. “Kamu tau nggak?”
“Soal apa?” Tanya Vio.
“Semua yang dikatakan Shania benar adanya.”
Vio memandang Shania sejenak, lalu memeluknya erat. Tangisnya pecah. “Makasih banyak, Shan. You’re my best friend.”
“Sama-sama, Vi.”
Kringg… Kringg…
Shania menerima telepon yang masuk dalam hp-nya. Ternyata dari Bu Lia, Bundanya Vio. Shania langsung menyerahkan hp-nya pada Vio.
“Bunda.” Sapa Vio dengan suara yang parau.
“Nak, pulanglah!! Nenekmu masuk rumah sakit.”
“APA!!!” Vio kaget bukan main. “Iya, Bun. Aku segera kesana.”
Klik.
Telepon ditutup dan Vio mulai terlihat sangat cemas.
“Anterin gue Shan, please!!!”
“Kemana?”
“Rumah sakit. Nenek masuk rumah sakit.”
“Hah!! Ayo! Ayo! Bentar, gue ambil kunci motor dulu.”

“Bunda!! Ayah!!!” Vio berlari lalu memeluk Ayah dan Bunda. “Maafn Vio. Hiks. Hiks.”
“Ssst, jangan nangis lagi, Vi. Lebih baik kita sekarang berdoa semoga nenek dapat melewati masa kritisnya.” Ucap Bunda seraya mengelus rambut putri semata wayangnya.
“Masa kritis?”
“Jika 30 menit lagi Nenek nggak siuman juga, maka beliau akan pergi untuk selama-lamanya.” Ucap Ayah.
Vio menatap Nenek dari luar ruang ICU. Ada banyak selang yang melekat di tubuh Nenek. Detak jantung beliau begitu lemah. Tarikan napasnya terlihat begitu berat.
“Ya Tuhan, ku mohon, berikan kesembuhan pada Nenekku. Aku sudah terlalu banyak berdosa padanya. Aku ingin meminta maaf padanya, Ya Tuhan. Berikanlah keajaibanMu padanya. Aku berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.” Doa Vio dalam hati.
Ayah menghampiri Vio yang berdiri dengan pandangan sangat bersalah ke ruang ICU. Menatap Nenek yang terbaring lemah tak berdaya.
“Ini salah Vio, Yah. Maafkan Vio ya, Yah.”
“Nggak Vio, ini memang takdir Tuhan. Vio nggak boleh menyalahkan diri Vio begitu.” Ayah merangkul bahu Vio.
“Vio menyesal, Yah. Hiks. Hiks.”
“Ayah mau menceritakan sesuatu padamu, Vi. Tentang 3 orang wanita yang menjadi pelita hidup Ayah. Ada Nenek, ada Bunda, dan ada kamu. Putri Ayah yang cantik. Jika diibaratkan bagai sebuah tubuh, maka Nenek adalah tulang Ayah, tulang yang menyangga tubuh Ayah. Bunda adalah darah yang mengalir di tubuh Ayah. Warna merahnya membuat hidup Ayah lebih berarti, tulang rusuk Ayah yang hilang. Dan kamu.” Ayah menunjuk hidung Vio.
“Aku apa, Yah? Aku pasti toxin yang meracuni tubuh Ayah.”
“Bukan sayang. Kamu adalah jantung Ayah. Jantung hati Ayah. Tanpa kamu, tubuh Ayah nggak bisa berbuat apa-apa sekalipun ada tulang dan darahnya. Kamulah yang membuat Ayah merasa hidup. Kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan.”
“Vio sayang, Ayah.” Vio memeluk erat Ayah.
“Ayah juga sayang Vio.”

Setahun kemudian.
Berulang kali Vio kembali menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Sudah cantikah? Atau terlalu seksi?
“Vio lama banget sih, Bun.” Berulang kali Ayah melirik ke jam dinding besar yang ada di salah satu dinding ruang tamu.
“Sabar, Yah. Namanya juga perempuan.”
“Kamu deg-degan nggak, Don?”
“Eh, hm.. Deg-degan, Om.” Doni nggak bisa menutupi kegugupannya. Berulang kali Doni merapikan dasinya. Padahal sudah rapi.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit.
“Nah, itu dia anak Bunda.”
Vio menuruni satu persatu anak tangga. Anggun dan sangat mempesona. Senyumnya manis. Rambut hitam panjangnya terurai indah. Ia laksana seorang putri dari kerajaan di dalam dongeng.
“Cantik.” Kata itu terlantur dari bibir Ayah dan Doni bersamaan.
Bunda tersenyum menyambut Vio. “Kamu cantik sekali sayang.”
“Makasih, Ma. Ini kan berkat Nenek.” Vio memeluk Nenek yang ada disebelahnya.
“Ini baru cucuku.”
“Nah, Doni. Om titip Vio ya.”
“Iya, Om. Percaya sama saya. Kami berangkat ya, Om.”
“Ya, hati-hati.” Raut wajah Ayah berubah drastis. Entah kenapa ada rasa sedih yang merasuk dalam hati Ayah. Inikah yang akan dirasakannya kelak ketika Vio akan menikah dan dibawa suaminya.
“Kenapa, Yah? Ini cuma Prom Night.” Goda Bunda. Ayah hanya tersenyum.
Didalam mobil, Doni menyerahkan corsage yang telah ia siapkan untuk Vio. Dan Vio juga memberikan bunga mawar merah kecil untuk dikenakan di jas Doni sebagai bros.
“Corsage ini untuk Putri Vio yang sangat cantik malam ini.”
“Oh, jadi yang kemarin-kemarin nggak cantik, ya??” Canda Vio.
“Dimataku, kamu selalu terlihat cantik kok.”
“Gombal banget, sih!! Berangkat yuk! Nanti kita telat.”
Doni mengangguk. Baru saja mobil akan distarter tiba-tiba dengan tergesa-gesa Nenek keluar dari rumah dan menghampiri mobil Doni.
“Ada apa, Nek? Jangan lari-lari begitu! Nanti jantung Nenek kenapa-kenapa.” Ujar Vio yang khawatir dengan Neneknya.
“Nenek lupa bilang sesuatu.”
“Apa, Nek?” Doni nampak penasaran.
“Jangan pulang lebih dari jam 9 malam.”
“Nenek??!!!!” Vio langsung lemas. Semangatnya langsung hilang.
“Maksud Nenek, jangan pulang lebih dari jam 9 malam, atau pangeranmu akan berubah jadi kadal buduk yang jelek Hehehehe.” Nenek mencubit pipi Vio gemas.
“Ih, Nenek apaan, sih!!!”


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar