Selasa, 25 Mei 2010

cerpen asik

Awan Kelabu Sebelum Hujan
Karya: Dinar Syarita Bakti

Aku sangat menyukai hujan. Rintikan air yang turun perlahan dari atas langit dan mampu mengalunkan musik alam yang menyejukan hati. Harumnya tanah mampu menenangkan jiwa yang gundah gulana.
Hujan. Dia menjadi sebagian hidupku. Ketika orang lain mengira hujan membawa duka, maka tidak bagiku. Aku dilahirkan diiringi hujan deras yang hampir membuat Bunda tidak terselamatkan akibat mati listrik yang mengganggu jalannya operasi caesar.
Maka sejak saat itu, hujan telah menjadi sahabat terbaikku. Yang selalu setia menemaniku kapan pun aku membutuhkannya. Tak heran kalau aku sangat membenci kemarau berkepanjangan yang menyebabkan kekeringan dimana-mana. Aku amat sangat membencinya. Itulah kenapa aku memaksa Ayah agar kami bisa pindah ke Kota Hujan ini. Ayah tentu saja akan menyetujuinya. Sudah kuduga itu dari awal.
Percayalah padaku, Ayah pasti akan mengabulkan apa yang aku mau. Hanya akulah darah dagingnya. Satu-satunya. Ayah pasti tidak akan mengecewakan aku sekali pun. Karena hanya ini yang bisa Ayah dan Bunda berikan padaku.
Mereka tidak bisa memberikan waktu yang menyenangkan bagiku dalam makan malam yang biasa dilakukan keluarga pada umumnya. Mereka terlalu sibuk. Perlahan-lahan pun akhirnya aku mengerti akan hal itu.
Jadi, dari pada menyakiti hatiku sendiri dengan janji-janji manis mereka, lebih baik aku meminta hal-hal yang pasti akan mereka berikan untukku. Sampai saat ini semua itu meleburkan rasa kesepianku.
“Hei, belum pulang?? Sebentar lagi hujan bakalan tambah deres lho.”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku kira sudah tidak ada orang lagi di sekolah ini. Ternyata masih ada.
“Awan.” Dia mengulurkan tangannya. Dengan ragu ku jabat juga. Lalu di wajahnya terlukis sesimpul senyum yang membuat hujan gerimis di hatiku. Diiringi petir dan guntur yang membuat wajahku perlahan bersemu merah.
“Cloudya. Panggil aja Cloudy.”
Pembicaraan pun berlanjut. Aku baru tahu kalau dia teman sekelasku. Maklum, ini tahun pertamaku, jadi aku belum hafal benar dengan teman-teman yang satu kelas denganku. Perlahan ku perhatikan tutur katanya. Sopan dan menyenangkan. Gerak geriknya penuh keyakinan dan ketegasan. Dan dia punya senyuman yang khas. Terasa tulus dengan sorot mata yang lembut. Ah, pasti dia tipikal cowok baik-baik dan membosankan.
“Hujannya belum berhenti juga.” Tuturnya.
“Nggak apa-apa. Aku suka hujan.”
“Oh ya?? Kenapa??”
“Karena hujan udah jadi sebagian hidupku.”
Wajahnya berkerut seolah menanti penjelasanku yang lebih rinci. Aku tersenyum dan berusaha menjelaskan apa yang aku katakan.
“Oh, jadi kamu lahir waktu hujan deras. Dan sebagian kejadian penting dalam hidupmu terjadi ketika hujan.”
Aku mengangguk seraya melihat langit yang masih dihiasi awan kelabu. Pasti hujannya akan lebih lama lagi.
“Apakah karena itu kamu diberi nama Cloudy?”
“Iya.” Jawabku singkat. “Ehm, aku pulang dulu ya, Wan.”
“Ya.”
“Bye.”
Satu tahun sudah terlewati. Dua belas bulan tak terasa berlalu begitu saja. Kami mulai mengenal satu sama lain lebih dekat dari sebelumnya. Yang tadinya hanya ber-hai ria, kini terasa harus mengobrol setiap kali ada kesempatan.
Aku pun tak mengerti, sejak kapan aku harus menghabiskan jam istirahatku dengan Awan. Kami makan siang bersama setiap hari. Tak jarang kami membawa bekal dan saling bertukar lauk.
Bahkan setiap malam kami selalu mengucapkan selamat malam satu sama lain. Kadang dia yang memulai, kadang aku yang memulai. Seperti sudah terprogram menjadi sebuah rutinitas yang biasa dilakukan.
“Hari ini kiat jadi latihan nggak?” Tanyaku.
“Jadi dong.”
Kami memiliki kegiatan ekstra yang sama. Kalau yang ini benar-benar diluar rencana. Pas lagi perkenalan ektrakurikuler, aku masuk aja ke salah satu ruangan. Ternyata disana juga ada Awan. Ruangan yang aku masuki adalah sekretariat Club Menembak. Aku pikir nggak ada salahnya kalau perempuan belajar memegang senjata. Malah kelihatan seksi.
“Kamu jadi ikutan turnamen menembak tahunan ini, Wan?”
“Jadi. Kamu sendiri gimana?”
“Hmm.Nggak tahu tuh.” Jawabku asal.
“Kok nggak tahu?” Awan menatapku serius. Tatapan matanya seolah menusuk ke hatiku. Sangat tajam, seperti elang yang sedang membidik maksanya.
“Belum bilang sama Ayah Bunda.”
“Bilang dong.”
“Males.”
“Takut nggak diizinin?”
“Nggak. Mereka pasti bakal ngizinin kok.”
“Terus kenapa?”
“Izin yang mereka kasih itu bukan bagian dari perhatian mereka buat aku. Mereka ngizinin karena nggak tau lagi gimana caranya membuat aku bahagia. Mereka nggak punya waktu buat aku, yang bisa mereka kasih ya cuma ini. Materi yang berlimpah dan kebebasan untuk melakukan apapun yang aku sukai.” Tanpa sadar ku ungkapkan uneg-uneg ku selama ini.
Awan tersenyum. Senyumannya terasa lembut menyentuh hatiku. Astaga, jantungku berdetak cepat seperti mau lompat dari tempatnya. Tangan Awan mengusap-usap kepalaku. Dan jantungku semakin berdetak sangat cepat, jangan sampai aku salting di depan dia.
“Harusnya kamu bersyukur. Kamu lebih beruntung dari orang lain.”
“Tapi aku butuh mereka, Wan. Aku butuh kehadiran mereka di sisiku.” Tak terasa aku semakin emosional. Air mataku menetes perlahan. Semua yang terpendam selama ini, akhirnya terungkapkan juga.
Awan tidak bereaksi. Dia membiarkanku sesenggukan. Menghabiskan sisa-sisa tangisku. Hingga aku kelelahan. Ku hapus air mata yang alirannya perlahan-lahan berhenti. Kenapa harus disini? Kenapa harus Awan yang menyaksikan tangisku?
Sejak tadi Awan terus memperhatikanku. Seolah dia mencoba memahami apa yang aku rasakan. Ia tak bicara sepatah kata pun. Entah karena bingung atau memang tidak mau mengusikku yang tertelan dalam dilema terpendam.
Mata kami sama-sama bertemu. Sepersekian detik.
Tersadar, aku sudah larut dalam pelukannya. Hangat dan nyaman. Tangannya merengkuh seluruh tubuhku. Membenamkan aku yang terlarut.
Tangisku pun pecah lagi. Namun kini sedikit tertahan. Ku peluk erat tubuhnya. Seolah aku berteriak, “Aku kesepian. Dan itu sakit sekali. Pedih.”
Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Mengiringi setiap tetes air mataku yang terjatuh. Sudah kukatakan, sebagian cerita hidupku adalah hujan.
Aku pun sadar satu hal.
Aku telah jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada Awan.
Ya, aku mencintainya.
Awan. Dia adalah pemuda yang baik. Pemuda yang senyumannya mampu meluluhkan hatiku. Yang selalu menghiburku di kala sedih. Yang mau mendengarkan semua isi hatiku. Yang selalu mengajarkanku bersyukur dengan apa yang aku dapatkan. Yang ketika berada didekatku menyebarkan kenyamanan luar biasa. Yang tatapannya penuh dengan kelembutan. Seperti hari ini.
“Siap buat besok?” Tanyanya ketika aku membereskan tasku. Ini adalah latihan terakhir sebelum turnamen.
“Siap.” Ucapku mantap. Dia tersenyum.
“Aku mau ngenalin seseorang sama kamu, dia besok juga bakal masuk tim kita. Emang dia belum pernah latihan bareng sama kita, tapi dia pasti jadi salah satu tiang terkuat di tim.”
Aku mengerutkan kening. Siapa dia? Tim perwakilan untuk turnamen tembak memang hanya terdiri dari 4 orang, seharusnya maksimal 5 orang. Apakah Awan akan membiarkan orang lain masuk dan bergabung dalam tim dalam 24 jam sebelum turnamen dilaksanakan? Itukan tindakan yang gegabah. Kecuali, Awan benar-benar yakin dengan dia.
“Carissa!!” Awan memanggil sebuah nama. Seorang gadis masuk. Semua perhatian seolah tertuju pada gadis itu. Dia sangat cantik dengan posturnya yang tinggi semampai.
“Guys, kenalin, ini Carissa.”
“Hai semua, nama gue Carissa. Semoga besok kita bisa memberikan yang terbaik buat sekolah kita.”
Dalam waktu kurang dari 30 menit, Carissa sudah bisa menarik perhatian semua orang. Suaranya renyah dan enak didengar, humornya juga asyik dan menyegarkan. Sikapnya yang supel langsung membuat orang lain nyaman berada disampingnya. Kalau begini caranya, aku yakin besok kita bisa membawa medali emas sebanyak-banyaknya.
Setahun berselang setelah turnamen tembak tahun lalu. Kami membawa 5 medali emas dari setiap peserta dengan berbagai kategori. Kini turnamen untuk tahun yang kedua sudah menunggu.
Masih dengan format tim yang sama. Diantara anggota tim ada aku, Awan dan Carissa. Setahun berselang, sudah banyak hal yang berubah.
Awan yang kukenal kini bagai orang asing. Begitu juga dengan Carissa. Ketika sebuah rasa mulai mengawali semuanya. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Awan jatuh cinta pada Carissa. Dan ia patah hati. Perasaaan Awan tidak disambut oleh Carissa, sama seperti perasaanku pada Awan. Carissa mencintai orang lain.
Semua itu menghancurkan Awan secara perlahan. Dia menjadi orang yang egois dan keras kepala. Terkadang sikapnya susah dimengerti, bahkan olehku. Padahal aku selalu ada. Aku selalu ada untuknya. Namun, Awan tidak pernah melihatku. Matanya selalu tertuju pada Carissa. Hanya ada Carissa di pikirannya.
Entah kekuatan darimana, Awan selalu yakin kalau suatu saat ia dan Carissa akan berjalan dalam jalan cinta yang sama. Kenyataannya, sikap Awan yang egois membuat Carissa membencinya. Sumpah serapah dan caci maki sudah diterima Awan atas sikapnya yang keterlaluan menurut Carissa, tapi Awan seolah tetap di alurnya. Tetap mencintai Carissa meski gadis itu tak pernah mencintainya.
DOR
“Aku mencintainya.”
DOR
“Ya, aku mencintainya.”
DOR
Tiga tembakan tepat mengenai sasaran. Kemampuan Awan semakin baik, bahkan sangat baik. Ketika orang lain bertanya bagaimana ia bisa sebaik itu, maka dia akan menjawab dengan gamblang.
“Pejamkan matamu, dan yakinlah cinta ada bersamamu.”
Kata-kata itu yang terkadang membuatku muak dengan Awan. Semua itu bukan sebuah kebohongan, sudah ratusan kali peluru aku tembakan ke papan target, tapi hanya ada 3 peluru yang kuingat tepat mengenai target.
Tiga peluru yang membawaku meraih medali emas di turnamen tahun lalu. Ketika ku tarik pelatup, ku pejamkan mataku sejenak dan membayangkan kalau Awan ada disampingku. Ya, ada disampingku. Bersamaku dengan tatapan matanya yang lembut.
“Wan!!” Panggilku. Dia menoleh dan meletakkan senjatanya.
“Kenapa Cloud?”
“Malam ini ada waktu nggak?”
“Hm, ada.”
“Dinner yuk!!” Ajakku dengan suara ceria.
“Tapi besok kita…”
“Udahlah, nyantai sebentar. Biar aku yang traktir. Gimana?”
Ada raut keraguan di wajahnya. Patah hati sudah meradangi jiwanya, Awan jadi kurang sensitif dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Nggak ada salahnya kalau dia diajak have fun sedikit walau sejenak.
“Sini!! Ku tarik bahunya agar aku bisa membisikkan sesuatu di telinganya. “Hari ini aku ultah.”
“Oh ya??” Wajah Awan berubah penuh dengan keceriaan yang dipaksakan.
Aku mengangguk mantap. Lalu ku telungkupkan kedua tanganku didepan dada.
“OK.”
“Thanks ya. Aku jemput kamu jam 7.”
Awan mengangguk. Tangannya mengusap-usap kepalaku. “Mau hadiah apa?”
“Kamu.”
Kami berdua tertawa. Candaan yang biasa. Awan hanya akan menganggapnya angin lalu. Kecuali yang mengucapkannya adalah Carissa. Karena segala hal tentang Carissa adalah sesuatu yang penting bagi Awan. Dia bisa membohongi orang lain kalau penolakan yang dilakukan Carissa adalah hal biasa yang terjadi dalam hidup seorang pemuda. Tapi, ia tidak bisa membohongiku. Penolakan itu bukan angin lalu. Awan memang mencintai Carissa dengan hatinya. Dengan segenap hatinya.
“Happy birthday, Sayang.”
Suara Ayah dan Bunda bersamaan di telepon. Mereka sedang berada di Roma untuk mengurus bisnis. Dan untuk yang kesekian kalinya, hanya hadiah-hadiah berlimpah yang mereka berikan padaku. Bukan kehadiran mereka yang menurutku lebih mahal dari hadiah manapun.
“Makasih Bunda, Ayah.”
“Hadiahnya udah nyampe kan?” Tanya Ayah.
“Udah kok, Yah. Makasih banyak ya.”
“Kamu ada-ada aja deh, Honey. Masa minta dibeliin pistol sih.” Komen Bunda.
“Kan itu buat turnamen tembak, Bun. Aku butuh pistol baru, soalnya yang lama udah nggak enak dipakenya.”
“Tapi kamu suka kan mobil Ferrari yang Ayah beliin?”
“Suka dong, Yah. Keren banget. Malam ini mau kau pake buat makan malem sama seseorang.”
“Your boyfriend??” Tanya Ayah antusias.
“Whatever.” Jawabku diiringi tawa. Andaikan dia memang kekasihku. Pasti rasanya sangat berbeda.
Segera ku akhiri percakapan itu, ketika ku sadari jarum jam sudah menunjukkan jam setengah tujuh malam. Ku ambil kunci mobil, melihat ke cermin sejenak dan yakin dengan penampilanku. Tancap gas.
“Kita mau kemana Cloud?”
“Pokoknya tempatnya top deh.”
Setelah setengah jam di perjalanan, terjebak macet dan lain-lain, akhirnya kami sampai di sebuah restoran Eropa di pinggir kota.
“Selamat malam Miss Cloudya. Kami sudah mempersiapkan tempat yang khusus untuk anda dan ….”
“Teman.” Potongku cepat.
Pegawai itu tersenyum menahan geli. “Dan teman anda. Mari ikuti saya!” Pintanya dengan sangat amat sopan.
Malam ini Awan terlihat lebih tampan dari biasanya. Ia memakai baju semi formal dengan balutan kemeja merah marun dan bledzer hitam.
“Cloud??” Awan mengulurkan tangannya.
Aku tertawa. Kadang candaannya boleh juga. Aku sambut tangannya. Dan semua mata memandang kami. Sepanjang jalan, para chef, waiter dan waitress menganggukan kepalanya saat melihatku. Ternyata Awan menyadarinya.
“Ini restoran kamu ya?” Tebaknya langsung.
“Gimana ceritanya??” Elakku.
“Mereka semua terlihat senyum sumringah dan berbisik-bisik saat aku menggandeng bosnya yang cantik dan baru berumur 17 tahun ini.”
“Nggak cukup bukti.”
“Orang didepan kita ini memanggilmu dengan embel-embel Miss. Biasanya mereka akan memanggil dengan sebutan Mba atau Ade untuk customer seperti kita. Kamu nggak mau dong dipanggil Bu Clodya, terdengar terlalu tua buat boss yang masih muda.”
Ku cubit pinggangnya. Analisisnya boleh juga, Ini memang restoran yang aku kelola. Untuk mengisi waktu luang, begitu kata Ayah dan Bunda. Tapi, tak kusangka akan berkembang pesat begini
“Indah.” Ucap Awan. Aku memilih tempat outdoor untuk dinner malam ini. Jadi, kami bisa melihat bintang yang bertebaran di langit, atau lampu-lampu kendaraan yang menghiasi jalanan kota.
Aku mengangguk seraya berdiri memandang langit. Kuintip pemandangan dibawah, terasa begitu tenang dan berbeda dengan siang hari. Tak ada bunyi klakson yang menggila atau asap penuh polusi.
“Makasih ya udah mau nemenin aku.”
“Iya, sama-sama. Makasih juga udah ngajak aku dinner malam ini.” Awan berdiri disampingku. Kami sama-sama menatap langit.
“Ini.”
“Apa ini?”
“Kado buat yang ultahlah.”
Aku menerima bungkusan kecil dari tangan Awan. Ketika kubuka isisnya adalah gantungan berbentuk huruf C.
“Makasih ya. Kadonya lucu. Aku pasang disini.” Kukaitkan gantungan itu untuk jadi penghias kunci mobilku.
Sayup-sayup terdengar lagu Shanty, Untuk Siapa. Malam Minggu begini memang ada band yang on show. Sekedar menghibur para customer.
Ada hati yang patah, dan itu hatiku
Rasanya nyawa ini tak ada, karenamu
Keinginan hatiku, di depan mataku
Sayangnya kau belum juga merasa
Perlahan, ku genggam tangan Awan. Dia melirikku sejenak. Lalu membiarkan tanganku menggenggm tangannya. Bahkan dia membalas genggamanku.
“Padahal aku selalu ada. Setia disamping kamu. Tapi kamu nggak pernah melihatku.”
Kali ini Awan benar-benar menatap mataku. Ia seperti sedikit kaget dengan ucapanku barusan.
“Itu kalimat yang mau kamu ucapin ke Carissaa kan, Wan??”
Awan tersenyum, lalu mengangguk perlahan. Sangat perlahan. Tapi, matanya masih tertuju pada mataku. Seolah dihadapannya bukan Cloudya, tapi Carissa.
“Aku mencintaimu.”
Ku tatap mata Awan lekat. Mencoba menyadarkannya, kalau yang berada di hadapannya bukan Carissa. Tapi Cloudya.
“Cloudya ..”
Aku mengangguk. “Aku mencintaimu.”
Sejurus kemudian, wajahnya sudah begitu dekat dengan wajahku. Bisa ku rasakan hembusan nafasnya. Perlahan dan pelan. Matanya coklat tua, tetap dalam keteduhannya. Wajahnya disinari cahaya malam yang temaram. Tangannya menyentuh halus pipiku. Kukuatkan hati dan mencoba mengatakan untuk yang kesekian kali.
“Aku mencintaimu.”
DOR
“Clou..dya..” Awan tercekat. Matanya melihat sebuah pistol yang ada ditangan kananku dan moncongnya sudah menembakkan peluru tepat di ulu hatinya. Darah mulai merembes ke kemeja yang ia kenakan. Merah dan pekat.
Ku persembahkan senyuman paling manis yang pernah aku berikan untuknya. “Aku jatuh cinta padamu, Wan. Semenjak kita saling berjabatan tangan di sore itu. Semenjak ku sadari ada ketulusan ditatapan matamu yang meneduhkan hatiku.” Ku tekan moncong pistol ke luka yang telah kuciptakan di ulu hati Awan.
“Arrgh..”
“Tapi kamu nggak pernah melihatku, menoleh pun nggak. Kamu anggap aku angin lalu. Padahal disini aku mati-matian mencintaimu.”
“Clouudd…” Awan mulai tidak bisa berdiri. Ia menumpukan setengah tubuhnya ke tubuhku. Sehingga darahnya mengotori long dress putih yang aku kenakan. Warna darah Awan jadi terlihat begitu kontras.
“Yang ada dipikiranmu hanya Carissa. Gadis itu membencimu setengah mati, Wan. Tapi kamu begitu teguh untuk mencintainya!!! Kamu terima caci makinya!! Kamu nggak pantes mendapatkan itu semua, Wan. Nggak pantes!!”
DOR
Sekali lagi kulayangkan sebuah peluru ke badan Awan. Cekramannya semakin keras di bahuku. Hingga ia benar-benar terkulai di lantai dengan bersimbah darah. Tak akan ada yang bisa mendengar suara tembakanku, karena aku menggunakan peredam suara. Disini juga tidak ada siapapun kecuali kami berdua.
“Akkuu..juga..men..cintaimu..Cloudya.”
Kata-kata itu terasa memuakkan di telingaku. Kudekati Awan yang terkulai dengan wajah pucat pasi dan hampir kehabisan darah. Ku kecup keningnya dengan penuh kaih sayang. Ku pandangi matanya yang menggambarkan rasa sakit dan panas di ulu hatinya.
“Tapi kamu nggak mencintaiku seperti kamu mencintai Carissa. Kamu hanya menganggapku sebagai sahabat. AKU BENCI ITU!!! BENCI!!!”
Perlahan air mata menetes di pipiku. Napas Awan mulai tersengal-sengal. Tangannya terus menekan ulu hatinya. Tapi, itu semua nggak bisa menahan derasnya darah yang keluar.
Mata bulat cokelat itu memandangku. Pandangan yang selalu meluluhkan hatiku. Awan tidak bisa berkata apa-apa. Namun, matanya berkata sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa aku pahami sebelumnya.
Pandangan mata itu seolah berkata, “Jika aku bisa merubahnya, aku juga tidak ingin tersiksa dengan perasaan ini. Aku tersiksa. Tapi, aku tidak bisa memaksa hatiku untuk mencintaimu. Aku nggak bisa.”
“AWAN!!” Mata Awan mulai tertutup perlahan. “AWAN!!! AWAN ku mohon jangan mati!! Awan maafkan aku.”
Ku guncang-guncangkan tubuh Awan berulang kali. Tak ada reaksi berarti.
KALAP. Ku berlari ke lantai bawah dan berteriak-teriak seperti orang gila untuk meminta pertolongan.
Sesaat kemudian orang-orang dengan sigap mulai memberikan pertolongan kepada Awan. Ambulance dipanggil dan di rujuk ke rumah sakit terdekat.
Semua orang bingung dengan apa yang terjadi. Tapi, bukti-bukti memang tertuju padaku. Mereka memandangku dengan pandangan kejam, seolah ingin menghakimiku. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi. MEREKA NGGAK MENGERTI!!!!
Ku tancap gas mobil Ferrari ku sekencang-kencangnya. Meninggalkan restoran sebelum orang-orang disana menghakimiku. Aku ketakutan. Ku telepon Ayah dan Bunda. Mereka kaget dengan apa yang terjadi. Bahwa aku menggunakan pistol pemberian mereka untuk mengadili Awan yang tidak mencintaiku.
Mereka pun memutuskan menerbangkanku ke Amerika. Pergi jauh-jauh dari Indonesia. Malam itu juga aku terbang ke Amerika. Diiringi hujan deras dan petir yang mengantar. Bahkan penerbanganku hampir dicancel karena cuaca yang amat buruk.
Akhirnya aku mengunakan jet pribadi Ayah. Jam 2 malam, aku sudah mengudara menuju Amerika. Meninggalkan apa yang terjadi 5 jam sebelumnya. Meninggalkan Awan, turnamen tembak yang mengibarkan namaku dan segala kenanganku.
Jam 8 pagi, aku sudah berada di salah satu hotel di Amerika, tepatnya hotel di kota New York City. Ku rebahkan tubuhku di ranjang. Ku lirik kaca yang terpampang lebar di sisi kananku. Perlahan kuturunkan resleting jaket yang menutupi bagian atas long dressku. Bercak darah itu mulai berubah warna jadi kecoklatan. Ini darah Awan.
Kenapa??
Kenapa aku bisa berpikir untuk membunuhnya??
Kabar terakhir yang kudengar, Awan dapat melewati masa kritisnya. Dia hampir mati karena kelakuanku. Dia hampir mati karena aku terlalu mencintai.
Tok. Tok. Tok.
“Who is that??”
“Sweetheart, this is us.”
Bunda dan Ayah. Dengan tergesa-gesa kubuka pintu kamar hotel. Benar. Ku dapati mereka ada didepan mataku. Mereka ada disini.
“Maafkan aku, Bun. Maafkan aku. Aku khilaf.”
Tangisku pecah dipelukan Bunda. Sudah amat lama, amat lama aku merindukan pelukan Bunda. Bahkan Ayah membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang selama ini aku dambakan dan aku impikan.
“Tidak, Sayang. Maafkan kami. Ini salah kami. Kami menelantarkan kamu. Padahal yang kamu butuhkan bukan hanya tumpukan materi, tapi kasih sayang. Maafkan kami, Sayang.”
Pagi itu, pertama kalinya aku benar-benar merasa memiliki sebuah keluarga.
Keluarga.
8 tahun kemudian ..
“Kamu sudah siap, Honey?” Tanya Ayah sebelum keluar dari mobil.
“Siap.” Aku mengangguk mantap.
Ku langkahkan kakiku dengan penuh percaya diri. Ayah berada disampingku. Dan aku bangga, bangga dengan semua keadaan ini. Aku punya keluarga yang sempurna, tidak kurang suatu apa pun. Begitulah orang-orang melihatku.
Setelah kejadian 8 tahun lalu, tak ada lagi pemuda yang berhasil meluluhkan hatiku. Biarpun mereka datang silih berganti, tak ada satu pun yang berhasil membuatku jatuh cinta. Belum ada yang bisa menggantikan tempatnya dihatiku. Atau tak pernah ada. Tak tergantikan.
Awan. Kabar terakhir yang kuterima dia telah pulih dari cedera yang kubuat. Kembali beraktifitas dan menjadi salah satu atlit tembak terbaik di Indonesia. Tapi itu kabar 8 tahun lalu. Kini aku sama sekali nggak tahu dia ada di belahan dunia yang mana.
Saat itu, keluarga Awan sama sekali tidak menuntutku. Mereka hanya meminta Ayah agar dapat menanggung seluruh pengobatan Awan. Orang tua Awan memang bukan orang berlebih, jadi mereka berpikir berulang kali untuk menuntutku yang notabene adalah putri tunggal salah satu penguasaha ternama.
Ayahpun menyelesaikan persoalanku dengan bantuan pengacaranya. Beliau tidak mau bertemu langsung dengan Awan atau pun keluarganya. Menurut Ayah, itu adalah cara terbaik untuk dapat melupakan sesuatu, jangan bertemu langsung dengan yang bersangkutan. Jadi, jika suatu saat nanti bertemu, akan terasa seolah tidak terjadi apapun.
Namun, rasa bersalah itu tetap menjadi salah satu mimpi burukku selama ini. Bagaimana aku bisa menarik pelatup pistol dengan entengnya dan menembakkannya ke ulu hati Awan. Sampai dua kali berturut-turut. Bahkan setelah kejadian itu, aku harus mengikuti terapi dengan salah satu psikiater untuk menormalkan kembali emosiku.
Delapan tahun adalah waktu yang lama untukku agar seperti ini. Aku kembali memiliki gairah untuk bermimpi dan memiliki cita-cita. Kuselesaikan S2 ku di salah satu universitas ternama Amerika, dengan susah payah dan kerja keras. Semua itu terbayar kini.
Hari ini Ayah akan menyerahkan salah satu tahta kerajaannya kepadaku. Menurut beliau, aku sudah siap dan pantas untuk mengemban tugas ini. Tapi, Ayah juga berharap aku dapat memiliki pendamping di usiaku yang beranjak 25 tahun.
“Ladies and Gentleman, dengan bangga hari ini saya serahkan tongkat kepemimpinan perusahaan kepada putri tunggal saya yang cantik ini. Kemarilah Anakku, Cloudya Putri Rafflesia.”
Ku langkahkan kakiku, menyambut tangan Ayah. Diluar hujan deras turun dengan nyanyian kemerduannya. Ku tatap satu per satu wajah-wajah yang tersenyum sumringah. Ku tebarkan senyuman dan wajah ramah ke setiap sudut ruangan.
Hingga mataku berhenti pada satu tatapan.
Tatapan yang sangat amat aku kenal. Lembut dan meluluhkan. Perlahan bergerak maju dan mendekatiku ditengah riuh rendahnya tepuk tangan.
“Cloudya Anakku, ini adalah Wakil Direktur perusahaan kita. Kalau kamu ingin bertanya sesuatu, tanyakanlah padanya. Namanya Gunawan Hadikusuma.”
“Gunawan.” Dia mengulurkan tangannya. Dengan setengah sadar kusambut. Ya, genggaman yang sama.
“Cloudya.”
“Panggil saja aku dengan…”
“Awan.” Sayup ku potong perkataannya.
Dia tersenyum dan mengangguk. Bola mata cokelat dan senyuman itu. Aku amat mengenalnya. Awan.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar