Minggu, 23 Mei 2010

Cerpen asik, Lihat! Aku Seorang Perempuan Palestina

Lihat! Aku Seorang Perempuan Palestina
Karya: Dinar Syarita Bakti

Ku telusuri jalan yang gersang ini. Selangkah demi selangkah diiringi dengan desir perih dalam hati. Tak ada daya dalam raga ini untuk melakukan sesuatu lebih dari apa yang sedang aku lakukan kini. Andaikan aku boleh berkhayal laksana pujangga yang punya dunianya sendiri, akan ku pinta padaNya untuk menghentikan waktu disini.
Hanya sebuah khayal. Suatu kenyataan yang membuatku tersiksa karena kenangan. Seuntai kenangan itu selalu terulang dan terekam erat di otakku. Menelusup ke jaringan-jaringan syaraf yang terangkai rapi di kepalaku. Menguasai alam bawah sadarku, hingga setiap malam aku harus terbangun dalam mimpi buruk.
Maha Besar Allah dengan segala kuasaNya. Sepanjang umur aku mengecap dunia fana ini, maka selama 22 tahun itulah semua kenangan ini menguasaiku. Menuntun kemana aku harus membawa raga ini. Membuka hatiku akan kekejaman zionisme pada zaman itu.
Dan lagi-lagi, aku harus menemui kenyataan, bahwa aku lahir pada masa itu. Masa yang membuat tanah kelahiranku, Palestina, menjadi sebuah medan peperangan tanpa akhir dari masa ke masa.
Itulah alasan terkuat kenapa aku kembali kesini. Sepahit apapun kenangan itu, aku harus dapat menerimanya. Dengan bola mataku akan kutatap lagi tanah kelahiranku.

“Ummi, ayo Ummi!! Kita harus mencari tempat perlindungan!!” Seorang bocah lelaki menuntun ibunya yang sudah kepayahan berjalan.
“Harun, Ummi sudah tidak kuat berjalan lagi. Kita istirahat saja dulu.” Ummi itu mengelus perutnya. Perlahan dengan rasa sayang dan cinta disetiap sentuhannya.
“Adik bayi dalam perut Ummi merasa kelelahan juga, ya?” Tanya bocah yang bernama Harun itu polos.
Ummi Aina hanya tersenyum. Terbayang betapa senangnya Harun saat tahu dia akan memiliki seorang saudara baru. Mahluk kecil yang akan tumbuh didepan matanya dan akan membuat hidup Harun lebih bermakna.
“Harun mencari air dulu ya, Ummi.” Ucap Harun tiba-tiba.
“Mau mencari kemana, Nak?”
“Itu Ummi.” Harun mengarahkan telunjuknya ke segerombolan pejuang Palestina. “Mereka pasti punya air untuk kita.”
“Baiklah, jangan terlalu lama ya, Nak.”
Harun mengangguk. Ia berlari kecil menghampiri segerombolan pemuda. Mereka semua membawa senjata. Ada serentetan peluru yang mereka jadikan sabuk di pinggang. Juga beberapa granat api.
“Assalamu’alaikum ya Akhi.”
“Wa’alaikumsalam. Ada apa Akhi Kecil?” Ucap salah seorang dari mereka.
“Saya dan Ummi kehausan, kami sudah berjalan selama satu setengah jam untuk mencari tempat perlindungan. Boleh kami minta air?”
“Dimana Abi-mu, Nak?” Tanya seorang bapak yang memakai sorban. Diwajahnya ada luka. Seperti goresan pisau. Nampaknya luka lama. Pasti karena suatu kejadian. Kejadian yang menjadi kenangan dan terukir di raga.
“Abi-ku berjihad. Dan syahid.” Jawab Harun mantap.
“ALLAHU AKBAR!!” Teriak bapak itu. “Semoga Allah menerima Abi-mu disisiNya, Anakku.”
“Mana Ummi-mu, Nak?” Seorang pemuda dengan peples (tempat air minum para tentara) di tangannya mendekati Harun.
“Beliau ada disana.”
“Ayo kita kesana. Akan aku bawakan minum untuk Ummi-mu. Ini, kau minum dulu!”
“Tidak. Aku tidak akan minum air ini sebelum Ummi meminumnya lebih dulu.”
Harun bersama dengan dua pejuang Palestina itu menghampiri Ummi Aina. Mereka kaget melihat Ummi Aina yang sedang mengandung.
“Ummi, berapa usia kandungan Ummi?”
“Sudah sembilan bulan.”
“Masya Allah. Semoga anak dalam kandungan Ummi mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah SWT.”
“Amien ya Allah. Syukran Akhi atas airnya.”
“Afwan, Ummi. Sekarang Ummi mau kemana?”
“Entahlah, aku khawatir sebentar lagi waktunya bayi dalam kandunganku ini akan lahir.”
“Sekitar setengah jam lagi akan ada mobil patroli yang lewat, Ummi bisa ikut dalam mobil patroli itu. Mereka akan mengantarkan Ummi ke rumah sakit.”
“Alhamdulillah, Maha Besar Allah. Terima kasih, Akhi. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.” Ummi Aina menitikan air mata.
Bagi beliau, saat-saat ini merupakan saat yang berat. Bertahan hidup dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah. Kini hanya Harun-lah yang Ummi Aina miliki. Keluarganya sudah berpulang ke Illahi saat rumah mereka dibom oleh para zionis Israel.
“Ummi, kalau adikku lelaki, akan aku beri nama Firdaus. Kalau adikku perempuan, akan aku beri nama Fatimah.” Sebuah senyuman menghias di wajah Harun.
“Subhnallah, nama yang indah sekali, Anakku.”
Senyum yang menggetarkan jiwa siapa saja yang menatapnya. Di tengah berkecamuknya perang ini, masih ada senyuman yang terselip disana. Mencoba menghibur mereka yang dirundung duka.
Meyakinkan hati ini, bahwa sesudah kesusahan itu ada kemudahan. Sesudah penderitaan pasti ada kebahagiaan. Dan Allah akan selalu bersama orang-orang yang bersabar.
“TENTARA ISRAEL MENYERANG!!! SIAGA! SIAGA!!!”
Sebuah mobil patroli berhenti tepat di depan pos jaga. Beberapa pemuda dengan senapan bergelantungan di tubuh mereka keluar dari dalam mobil. Mereka menatap Harun juga Ibunya dengan tatapan yang tak dapat dimengerti.
“Ummi, maaf.” Salah satu pemuda yang keluar dari dalam mobil itu menghampiri Ummi.
“Ada apa, Nak?”
“Kami hanya bisa membawa satu orang saja.”
“Kenapa? Bagaimana dengan anakku Harun?”
“Maaf Ummi. Kami hanya bisa membawa satu orang saja agar kami bisa lolos dari pemeriksaan di perbatasan nanti.”
“Aku tidak akan meninggalkan Harun. Lebih baik kalian tinggalkan saja kami.” Ummi Aina memeluk Harun erat.
Sebuah suara meriam terdengar. Tanda bahwa para zionis-zionis semakin mendekat. Disusul oleh jeritan-jeritan yang memilukan hati. Yang bisa menyelamatkan diri berlari sekencang-kencangnya. Yang terperangkap bukan berarti berputus asa.
“SYAHID!! SYAHID!! ALLAHU AKBARRRR!!!”
Ummi Aina semakin erat memeluk Harun. “Aku tidak akan meninggalkan anakku.”
“Ummi.” Dengan lembut Harun menenangkan ibunya. “Ummi harus ikut dengan paman ini. Agar adik bayi selamat. Harun nanti akan menyusul Ummi di rumah sakit. Ya, Ummi.”
“Harun, Ummi tidak akan meninggalkanmu, Nak.”
“Tidak, Ummi. Ummi tidak meninggalkan aku. Harun tetap ada disini, di hati Ummi. Jangan khawatir, Ummi. Aku bersama mereka. Orang-orang tangguh yang dimiliki Palestina.”
Ummi menatap anak semata wayangnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak percaya Harun akan mengatakan hal itu. Sungguh sangat menenangkan hati.
“Ummi mencintaimu, Nak.”
“Harun juga mencintaimu, Ummi.” Dikecup kening Ummi Aina lembut.
“Ayo Ummi, kita harus cepat.” Pemuda itu membantu Ummi berjalan menuju mobil jeep mereka.
“Jaga dirimu baik-baik, Anakku!!”
“Iya, Ummi. Insya Allah.”
Jeep semakin melaju meninggalkan pos. Bayangan bocah kecil bernama Harun itu semakin tak terlihat. Tak ada kata yang dapat diucapkan Ummi Aina. Ia sudah kehilangan suaminya, haruskah kini ia kehilangan putranya?

Gencatan senjata bukan hal yang mungkin terjadi saat ini. Terlalu banyak letupan senjata api, terlalu banyak bom-bom yang sudah berbunyi nyaring menghiasi bumi, terlalu banyak nyawa-nyawa yang tak berdosa melayang begitu saja.
“UMMIIII!!!!!!” Teriaknya.
“HARUN!!”
Ummi Aina tersadar dari pingsannya. Sebuah mimpi buruk menyapa. Beliau memimpikan putranya, Harun yang tampan dan sholeh terkulai tak berdaya dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya.
“Ummi, Alhamdulillah Ummi sudah sadar. Ini anak Ummi, perempuan. Sangat cantik. Semoga menjadi anak yang sholehah.”
“Namanya Fatimah.” Ucap Ummi Aina diiringi senyuman.
Untuk pertama kalinya Ummi Aina menimang anak perempuannya itu. Bayi mungil tanpa dosa yang lahir ditengah kemelut Palestina. Tangisnya juga menghiasi langit-langi Palestina yang merah oleh api.
“Ummi Aina.” Sebuah suara menyapa Ummi Aina.
“Akhi…..”
Ummi Aina tidak tahu nama pemuda itu.. Tapi, kenangan itu amat jelas dibenak Ummi Aina. Pemuda yang memberinya air dan memberi tahu tentang mobil patroli.
“Namaku Harun, Ummi. Sama seperti nama anak Ummi.”
“Harun! Bagaimana dengan anakku, Harun?”
“Ini Ummi.” Harun menyerahkan segulung baju yang penuh dengan noda. Noda darah yang menghitam. Ummi Aina menerimanya dengan tangan bergetar.
“Ini baju anakku Harun?”
“Iya, Ummi. Dia syahid di jalan Allah.”
“Innanillahi wa innailaihi raji’un.” Didekapnya baju Harun. “Fatimah, ini baju kakakmu tercinta. Namanya Harun. Kakakmu syahid di jalan Allah, Fatimah. Padahal umurnya masih sangat muda.” Ummi memperlihatkan baju itu pada si kecil Fatimah. Seolah Fatimah yang baru lahir mengerti apa yang sedang terjadi.
“Ummi! Ummi! Ummi Aina!!!”
Perlahan mata Ummi Aina tertutup seiring dengan ucapan syahadat dari bibirnya. Beliau menyusul putranya Harun. Harun yang menjadi salah satu korban kekejaman zionis di Palestina. Beliau menyusul suami tercinta. Beliau menyusul keluarganya. Satu nyawa menambah panjang daftar nyawa tak berdosa yang melayang begitu saja dan akan tertulis dalam sejarah perang Palestina.
Sang Pemuda Harun pun menyatakan sanggup untuk bertanggung jawab atas Fatimah. “Anak ini harus hidup, akan aku rawat dia. Biarlah esok hari ia akan kembali dan menyerukan tentang tanah kelahirannya. Dia akan kembali padamu, Palestina. Dan hidup sebagai perempuan Palestina. ”

“Halo, Assalamu’alaikum, Paman.”
“Wa’alaikumsalam. Fatimah! Kau sudah sampai di Palestina, Nak?”
“Sudah, Paman. Aku melihatnya. Aku melihat tanah kelahiranku. Aku melihat semuanya.”
“Kamu ada dimana, Nak?”
“Disebuah tempat yang tenang, Paman. Tempat yang aku rasa sangat dekat dengan diriku.”
“Doakanlah Ummi-mi, Abi-mu dan saudara laki-lakimu.”
“Baik, Paman. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Ku layangkan mataku ke seluruh penjuru. Yang kulihat hanya nisan-nisan yang berjajar rapi. Kusentuh lebut sebuah nisan yang ada dihadapanku. Tertulis sebuah nama yang juga terukir di hatiku.
“Ummi, Abi, Kak Harun, aku pulang ke tanah kelahiranku. Palestina”








TAMAT

Cerpen asik

4 Months for 7 Years

Karya: Dinar Syarita Bakti

Dira melangkah pergi meninggalkan kawan-kawannya dibelakang. Ia memilih untuk sendiri. Menjauh dari keramaian dan hingar bingar pesta. Hatinya sedang tidak ingin berpesta. Ia ingin merenung. Memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan. Bukan bersenang-senang sambil berfoya-foya ria.

Dari kejauhan, musik masih terdengar sayup. Perutnya terasa mual karena memaksakan diri meneguk segelas vodka. Malam ini seharusnya adalah malam miliknya. Malam ini adalah malam Prom Night. Tapi, ia tidak merasakan malam ini adalah malamnya.

Dira adalah seorang Dj terkenal dengan bayaran mahal. Ia bisa memiliki semua yang diinginkannya. Apartemen mewah di kawasan elit, mobil sport keluaran terbaru atau home theater canggih khusus di kamarnya. Ia memiliki semua.

Diumurnya yang masih 18 tahun, tentu itu adalah prestasi yang membanggakan. Masih muda sudah sukses. Semua ini tidak lepas dari kerja keras yang ia lakukan sejak umurnya 16 tahun. Ia begitu tertarik dengan dunia malam. Bergoyang di dance floor hingga fajar menjelang adalah rutinitas yang tak pernah ia lewatkan setiap weekend.

Namun, daddy dan mummy yang tinggal di Manhattan mengeluh dengan gaya hidupnya yang menghambur-hamburkan uang. Sang daddy pun menantang anaknya untuk menghasilkan uang sendiri. Ia tidak mau lagi membiayai acara clubbing Dira.

Kepepet karena tak dapat asupan biaya bulanan untuk kesenangannya, akhirnya Dira mulai belajar menghasilkan uang dengan hobby clubbingnya. Jutaan rupiah ia habiskan untuk menuntut ilmu guna menjadi seorang Dj yang handal. Dan inilah hasil jerih payahnya selama 2 tahun belakangan.

Terlalu sibuk dengan profesinya yang baru, Dira tidak tertarik dengan pemuda mana pun yang berusaha mendekatinya. Masa-masa SMAnya pun tidak begitu ia perhatikan.

Dira memang salah satu siswi cerdas di sekolahnya. Tapi, ia tidak pernah mencoba menggunakan kecerdasannya untuk mendongkrak popularitasnya di sekolah. Kawan-kawan di sekolah mengenal Dira sebagai siswi berprestasi yang kerjaannya nge-Dj di club-club terkenal. Entah di dalam negeri atau di luar negeri.

Dira pun tak mau ambil pusing. Sebentar lagi masa-masanya di SMA akan segera selesai. UN sudah ia lalui. Kini hanya tinggal mengikuti ujian praktek dan ujian akhir sekolah.

Ketika guru mata pelajaran bersangkutan menyuruh murid-muridnya membentuk sebuah kelompok, Dira baru menyadari kalau dia tidak memiliki seorang ‘teman’ dalam arti teman sesungguhnya di sekolah.

“Dir, mau gabung nggak sama kelompok kita? Kita masih kurang satu orang lagi.”

Orang yang nggak pernah dia anggap keberadaannya di kelas tiba-tiba mengajak bicara dirinya. Ia sempat bertanya-tanya dalam hati. “Oh, dia classmate gue ya?”

Dira hanya mengangguk. Lalu berpindah tempat duduk dengan kelompok barunya. Terdiri dari 4 orang termasuk dirinya. Sang ketua yang tadi mengajak dirinya bergabung baru ia ketahui bernama Fauzi. Seorang cowok berambut keriting dengan kaca mata tebal bernama Lilo. Ya, seperti nama salah satu alien di sebuah film kartun. Dan seorang cewek dengan postur tubuh tinggi namun suaranya sangat kecil bernama Jiya.

Dira mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Melihat kelompok-kelompok lain yang mulai akrab. Setelah 5 menit, barulah ia sadari kalau kelompoknya adalah kelompok teraneh. Fauzi yang pendiam, Lilo yang matanya tak pernah lepas dari notebooknya, Jiya yang selalu tertunduk entah menatap apa di lantai, dan dirinya, entah dijabarkan sebagai mahluk yang seperti apa.

Mrs. Mila menjelaskan tugas pertama mereka sebagai kelompok, membuat sebuah film untuk pelajaran sosial.

“Film yang harus kalian buat adalah film dokumenter. Film tersebut harus memiliki nilai agama, sosial budaya dan kebajikan.”

TOEEENGGGG.

Dira melirik Fauzi yang mencatat sesuatu di bukunya. Tulisan cowok itu sangat rapi. Tulisannya saja kalah. Selama Mrs. Mila menjelaskan secara mendetail tentang tugas mereka, tak ada satu pun dari kawan-kawan sekelompoknya yang bertanya atau berusaha membuka obrolan.

Damn, gue nggak bergabung dengan manusia-manusia primitifkan.” Umpatnya dalam hati.

Sampai bel berbunyi, tak ada satu pun dari mereka yang melakukan, katakanlah interaksi.

“Jadi, kita mau bikin film apa?” Tanya Jiya dengan suara yang sangat kecil. Ini lebih tepat disebut berbisik daripada berbicara.

“Gimana kalau kehidupan hacker di dunia maya?” Usul Lilo.

“Apa unsur agama yang bisa diambil dari itu?” Ganti Fauzi yangbertanya.

Oke, mereka mulai bertingkah laku seperti layaknya manusia yang butuh interaksi dan komunikasi.

“Kalau soal politikus bagaimana?” Ucap Jiya. Ia menatap Fauzi sekilas lalu menundukkan wajahnya lagi.

“Kita mau meliput siapa …”

“Bikin film soal gue aja.” Dira memotong dialog Fauzi. “Sorry, Zi. Gue nggak maksud motong. Cuma lo tau kan reputasi gue di sekolah sebagai ya .. Tahulah. Nah, itu sisi gelapnya. Lo tinggal masukkin aja sisi terangnya.”

Yang lain terdiam. Lilo dan Jiya menatap Fauzi bergantian. Begitu pun dengan Dira.

“Kamu nggak keberatan?”

“Nggak kok. Gue udah biasa.”

“Hm, ya udah kita tinggal bagi tugas aja. Lilo ….”

“Malam ini gue ada jam di club. Gue nanti minta rekamin keadaan di club. Nah, besok pagi gue kasih mentahnya, tinggal lo tambahin sama sisi terangnya. Ops, sorry, gue motong lagi.”

“Iya, nggak apa-apa. Oke kalau begitu.”

“Nih hasil rekaman semalem.”

Dira menyerahkan sebuah vcd kepada Fauzi. Fauzi memberikannya pada Lilo untuk dilihat bersama di notebooknya. Maka, 15 menit kemudian Fauzi, Lilo dan Jiya sudah larut pada rekaman yang sedang di putar oleh Lilo.

“Rekamannya bagus.” Jiya memberikan komentar.

Dira hanya memberikan seutas senyuman.

“Dir, gue minta lagu remix yang lo mainin itu dong.”

“Iya, besok gue bawain.”

“Kita pake aja sekalian buat soundtracknya.”

“Wah, boleh juga tuh, Zi. Berarti kita tinggal merekam sisi terangnya.” Lilo menaikkan kaca mata tebalnya yang tampak merosot karena agak kebesaran.

“Aku udah ada kok. Tinggal kita satuin aja. Terus dikasih narasi.” Fauzi menyerahkan sebuah vcd.

“Ya, udah bagus nih.”

“Ya, udah. Tinggal disatuin aja.” Ucap Dira.

“Gue nggak bisa.” Lilo nyengir.

Fauzi pun mengaku tidak bisa. Apalagi Jiya. Alasannya karena mereka tidak memiliki aplikasi untuk meremix sebuah beberapa video menjadi film.

“Gimana kalau kita ke studio aja!” Jiya berusaha memberikan saran.

“Nggak usah. Gue punya aplikasi sama alat-alatnya. Balik sekolah lo pada ikut ke apartemen gue aja. Kita kerjain sampe selesai.”

Semuanya pun setuju. Pulang sekolah mereka akan merampungkan film itu bersama-sama. Dan ini adalah kali pertama bagi Dira untuk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama.

“Lo tinggal disini sendirian, Dir?” Tanya Lilo.

“Iya.”

Jiya dengan polosnya mengajukan pertanyaan. “Nggak takut?”

“Nggak.”

“Wah, hebat.” Puji Jiya. “Aku aja takut tidur sendirian di kamar.”

Dira mengerutkan keningnya. Walau dalam hatinya ada perasaan senang yang tidak ia mengerti. Ia adalah tipikal manusia yang tidak mau privacynya diusik. Tapi, kali ini ia membiarkan Jiya merapihkan kasurnya yang berantakan dengan baju disana-disini. Lilo yang asyik meremix musik dan potongan rekaman menjadi sebuah film di ruang kerjanya. Sedangkan Fauzi. Entah ada dimana cowok yang satu itu.

“Fauzi dimana, Jiy?”

“Oh, dia katanya mau masak sesuatu buat kita. Masakannya enak lho, Dir. Kamu mesti coba pokoknya!”

Dira melangkahkan kakinya ke dapur. Dari kejauhan dia melihat seorang Fauzi dengan celemek masak Winnie The Poohnya sedang memotong-motong sayuran. Sedangkan diatas kompor ada wajan dengan sesuatu yang menyebarkan aroma harum.

“Kamu bisa masak?”

Fauzi tersenyum. Ia memberikan sesendok masakan yang sedang ia masak untuk dicicipi oleh Dira.

“Enak.”

“Ayahku punya usaha café kecil-kecilan di kawasan Dago. Jadi, ya sedikit-dikit aku bisa.”

“Nyokap bokap gue di Manhattan. Kakak cowok gue masih kuliah hukum di Harvard. Dan gue sendiri disini.” Dira mengambil pisau dan membantu Fauzi untuk memotong sayuran.

“Kamu mandiri ya. Salutlah.”

“Hahaha. Tapi, gue kesepian.”

Fauzi menatap Dira dalam. “Kamu punya kita kok. Jadi, kamu nggak perlu merasa kesepian.”

Tiba-tiba jantung Dira berdegup. Seperti ada getaran yang mengagetkan hatinya. Baru ia sadari mata Fauzi bulat, dan mata kanan agak kebiruan, mata kirinya agak kehijauan.

“Lo pake softlense ya?”

“Hah. Nggak kok.”

“Kok warna mata lo beda-beda sih.”

“Oh, itu bawain lahir. Aku juga nggak ngerti. Haha.”

“Guys, UDAH JADI!!!”

Lilo berteriak dan semua orang yang ada di apartemen itu langsung berkumpul di ruang tengah. Lilo menyetel film yang sudah ia remix.

Film itu pun di putar. Mereka hanyut dalam alunan musik dan potongan-potongan kisah yang saling menyatu satu sama lain.

“Kita pamit ya, Dir.” Jiya memeluk Dira.

“Ya, ati-ati. Udah malem. Atau mau gue panggilin taksi?”

“Nggak usah. Kita searah kok. Jadi, kita naik angkot yang sama.” Jawab Fauzi.

“Lo mau naik angkot malem-malem begini? Nggak. Tunggu sebentar.” Dira masuk ke dalam. Ia meraih jaketnya dah kunci mobil sportnya. “Ayo, gue anterin.”

“Tapi, Dir. Mobil lo kan cuma ada 2 tempat duduknya.”

“Oh iya. Sebentar!” Dira masuk ke dalam lagi. Ia mengambil kunci yang lain. “Ayo!”

Setengah jam yang lalu mobilnya ramai dengan celotehan Lilo dan Jiya. Kadang-kadang Fauzi ikutan nimbrung. Tapi, nggak jelas dan jayus banget.

Kini di dalam mobilnya yang melaju di tengah keramaian malam hanya ada dirinya. Sendirian ditemani suara radio. Terasa sepi. Ada kesedihan yang muncul di benaknya. Untuk pertama kali ia merasa kalau kesepian yang ia rasakan selama ini adalah nyata.

Dira meletakkan jaketnya di sofa. Ia nyalakan televisi. Ah, acaranya membosankan. Matanya menatap sekelilingnya. Lengang. Sepi. Tidak seperti siang tadi.

“Tuhan, aku butuh teman.”

Malam yang lain ditengah musik, asap rokok dan bau alkohol yang merebak di seluruh penjuru. Dira menikmati permainannya di meja Dj.

Drreett. Drettt.

“Halo. Dira?”

“Ya, siapa nih?”

“Fauzi. Kamu ada dimana kok berisik banget sih?”

“Halo!! Apaan?? Gue nggak bisa denger lo!!”

Dira menyepi ke ruang bartender. Setelah ia rasa suasananya cukup tenang, ia kembali menyapa seseorang yang tadi ia ajak bicara di handphone.

“Halo, Zi?”

“Dir, Jiya kabur dari rumah.” Suara disana tampak panik.

“HAH!! Kok bisa?”

“Nanti aja ceritanya. Aku sama Lilo lagi nyariin dia. Kamu bantuin juga ya!”

“Iya. Iya.”

Dira segera meninggalkan club. Beberapa menit kemudian ia telah melaju di jalanan yang lengang pada jam 2 pagi. Ia bingung harus mencari Jiya dimana. Akhirnya dia hanya melaju kemana hatinya membawa.

Hujan mulai turun. Sekarang memang sedang musim hujan. Dira memperlambat laju mobilnya. Cukup pelan. Ia perhatikan setiap sisi jalan. Sekelebat bayangan tentang Jiya yang tak bisa apa-apa jika saja ada yang menggodanya membuat Dira merinding sendiri. Hatinya jadi tak karuan. Jiya yang lembut dan memiliki suara kecil itu, kenapa bisa jadi senekat ini.

Ditengah derasnya hujan, samar-samar Dira melihat seseorang yang berdiri dibawah lampu jalan. Dia masih mengenakan seragam SMA dan tas berbentuk buah apel hijau. Itu tas Jiya!! Dira segera menepikan mobilnya dan meraih payung yang ada di dashboard.

“JIYA!!!” Panggil Dira. Ia setengah berlari menghampiri Jiya. Gadis itu menggigil karena kedinginan.

“Dira?” Jiya tampak kaget dengan kehadiran Dira. Apalagi dengan penampilan Dira. Seksi dengan rambut yang agak berwarna merah. Ia tak pernah melihat Dira yang seperti ini.

“Lo nekat banget siy, Jiy.”

Mereka berdua melaju ke apartemen Dira. Dira pun sudah mengabarkan kepada Lilo dan Fauzi kalau ia sudah menemukan Jiya.

“Ngapain lo kabur dari rumah?” Tanya Dira seraya menyerahkan segelas susu cokelat panas.

“Bunda dan Ayah mau bercerai. Jiya kecewa sama mereka.”

“Tapi jangan begini caranya dong! Lo tau kan di jalanan jam segini itu banyak orang yang nggak bener. Kalau mau kabur kenapa nggak ke rumah gue aja? Kan lebih aman!!”

“Jiya tadi cuma pengen sendiri, Dir. Nggak kebayang aja, kok bisa ya ini terjadi sama hidup Jiya. Jiya penat, Dir. Pengennya lari. Menjauh dari orang-orang.”

Dira terdiam. Ya, terkadang ia juga merasa seperti itu. Ingin sendiri. Penat. Bosan. Namun, terlalu larut dalam kesendirian juga tidak enak. Kesepian.

“Dira tadi dari mana?”

“Eh. Oh. Abis nge-Dj.”

“Oh ya? Kayak yang di film kita itu?”

Dira mengangguk.

“Hm, kapan-kapan ajakin Jiya dong! Kayaknya asyik ya?”

“Nggak, Jiy!! Jangan!!”

“Lho, kenapa?”

“Jangan! Sekali lo masuk kesana. Lo nggak akan bisa dengan mudah lepas dari jeratannya. Jangan, Jiy. Pokoknya jangan!!”

“Tapi, kok Dira suka?”

“Itu karena.. Karena..” Dira menatap wajah gadis polos disampingnya. “Karena gue kesepian.”

“Kadang Jiya merasa kesepian juga kok. Suara Jiya kecil. Tapi, tubuh Jiya tinggi besar begini. Kayaknya Tuhan nggak adil, ya?”

Tuhan.

Ah, sudah berapa lama Dira tidak menyebut nama itu. Ia seperti begitu jauh dengan Tuhan. Atau Tuhan sudah tidak mau bersahabat lagi dengannya? Tidak, tidak. Tuhan itu Maha Penyayang. Atau. Dia yang tidak mau bersahabat dengan Tuhan?

Ya, Dira selama ini yang menjauhi Tuhan. Ia tidak peduli dengan orang lain. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Padahal Tuhan menyuruh hambaNya untuk saling tolong-menolong. Jadi, selama ini masalahnya adalah bersahabat dengan Tuhan.

“Dir, kok bengong?”

“Eh. Enggak. Hm, Dir, lo percaya sama Tuhan?”

“Kok pertanyaannya begitu sih, Dir?”

“Tuhan itu Maha Adil, Jiy. Cuma kita yang nggak tau terima kasih dengan keadilan yang udah diberikan Tuhan. Karena kita terlalu angkuh untuk mengakuinya, dan terlalu rakus untuk merasa cukup.”

“Dir!!’

Dira berbalik menatap 3 orang yang memanggil namanya. Tiga orang yang selama 4 bulan ini memberikannya sebuah kisah yang tak akan ia lupakan seumur hidupnya.

“Gue udah mutusin, guys. Gue akan kuliah di Amerika.”

“Lo yakin, Dir?”

“Gue yakin, Lo. Cuma itu satu-satunya cara buat gue untuk memulai semuanya dari awal lagi. Meninggalkan kehidupan malam yang selama ini gue jalanin. Gue buruh Mommy di sisi gue.”

“Kalau itu yang terbaik buat kamu. Kita semua pasti dukung kamu kok.”

“Iya, Dir. Bener kata Fauzi, kita pasti bakal dukung kamu. Kamu jangan lupa sama kita ya, Dir. Sama Jiya, Fauzi dan Lilo.”

“Enggak. Gue nggak akan lupa sama lo semua. Lo yang memberikan gue arti kebersamaan ini. Lo yang nyadarin gue dengan semua yang udah gue lakuin. Thanks a lot ya friends.”

Malam itu akan menjadi malam yang penting di kehidupan mereka. Yang akan mereka ingat sepanjang masa. Yang aan menjadi pemersatu mereka di masa depan kelak.

“Fauzi sama Dira mana sih? Udah jam berapa nie?” Lilo mengerutu tapi matanya tak pernah beranjak dari notebooknya.

“Sabar Lilo. Mereka lagi pada di jalan.”

“Tapi gue ada janji sama seseorang 4 jam lagi. Dia yang bakal beli program gue. Kalau mereka telat, berarti kita Cuma punya waktu dikit buat ngobrol.”

“Ya ampun Lilo, Jiya aja ngebatalin semua pesanan gaun pengantin dan baju yang seharusnya selesai hari ini. Kok kamu malah ada janji sama orang lain sih.”

“Sorry, guys kita telat!!!” Fauzi dan Dira datang bersamaan dari arah yang berbeda.

“Gimana sih elo pada, masa arsitek terkenal sama presdir majalah fashion internasional datengnya telat?”

Sedetik kemudian mereka nyerocos ngalor ngidul menceritakan ini dan itu. Ya, mereka tetaplah mereka. Tetap sama seperti mereka 7 tahun yang lalu.

Tetap ada Dira. Tetap ada Jiya. Tetap ada Lilo. Tetap ada Fauzi.

TAMAT