Minggu, 23 Mei 2010

Cerpen asik, Lihat! Aku Seorang Perempuan Palestina

Lihat! Aku Seorang Perempuan Palestina
Karya: Dinar Syarita Bakti

Ku telusuri jalan yang gersang ini. Selangkah demi selangkah diiringi dengan desir perih dalam hati. Tak ada daya dalam raga ini untuk melakukan sesuatu lebih dari apa yang sedang aku lakukan kini. Andaikan aku boleh berkhayal laksana pujangga yang punya dunianya sendiri, akan ku pinta padaNya untuk menghentikan waktu disini.
Hanya sebuah khayal. Suatu kenyataan yang membuatku tersiksa karena kenangan. Seuntai kenangan itu selalu terulang dan terekam erat di otakku. Menelusup ke jaringan-jaringan syaraf yang terangkai rapi di kepalaku. Menguasai alam bawah sadarku, hingga setiap malam aku harus terbangun dalam mimpi buruk.
Maha Besar Allah dengan segala kuasaNya. Sepanjang umur aku mengecap dunia fana ini, maka selama 22 tahun itulah semua kenangan ini menguasaiku. Menuntun kemana aku harus membawa raga ini. Membuka hatiku akan kekejaman zionisme pada zaman itu.
Dan lagi-lagi, aku harus menemui kenyataan, bahwa aku lahir pada masa itu. Masa yang membuat tanah kelahiranku, Palestina, menjadi sebuah medan peperangan tanpa akhir dari masa ke masa.
Itulah alasan terkuat kenapa aku kembali kesini. Sepahit apapun kenangan itu, aku harus dapat menerimanya. Dengan bola mataku akan kutatap lagi tanah kelahiranku.

“Ummi, ayo Ummi!! Kita harus mencari tempat perlindungan!!” Seorang bocah lelaki menuntun ibunya yang sudah kepayahan berjalan.
“Harun, Ummi sudah tidak kuat berjalan lagi. Kita istirahat saja dulu.” Ummi itu mengelus perutnya. Perlahan dengan rasa sayang dan cinta disetiap sentuhannya.
“Adik bayi dalam perut Ummi merasa kelelahan juga, ya?” Tanya bocah yang bernama Harun itu polos.
Ummi Aina hanya tersenyum. Terbayang betapa senangnya Harun saat tahu dia akan memiliki seorang saudara baru. Mahluk kecil yang akan tumbuh didepan matanya dan akan membuat hidup Harun lebih bermakna.
“Harun mencari air dulu ya, Ummi.” Ucap Harun tiba-tiba.
“Mau mencari kemana, Nak?”
“Itu Ummi.” Harun mengarahkan telunjuknya ke segerombolan pejuang Palestina. “Mereka pasti punya air untuk kita.”
“Baiklah, jangan terlalu lama ya, Nak.”
Harun mengangguk. Ia berlari kecil menghampiri segerombolan pemuda. Mereka semua membawa senjata. Ada serentetan peluru yang mereka jadikan sabuk di pinggang. Juga beberapa granat api.
“Assalamu’alaikum ya Akhi.”
“Wa’alaikumsalam. Ada apa Akhi Kecil?” Ucap salah seorang dari mereka.
“Saya dan Ummi kehausan, kami sudah berjalan selama satu setengah jam untuk mencari tempat perlindungan. Boleh kami minta air?”
“Dimana Abi-mu, Nak?” Tanya seorang bapak yang memakai sorban. Diwajahnya ada luka. Seperti goresan pisau. Nampaknya luka lama. Pasti karena suatu kejadian. Kejadian yang menjadi kenangan dan terukir di raga.
“Abi-ku berjihad. Dan syahid.” Jawab Harun mantap.
“ALLAHU AKBAR!!” Teriak bapak itu. “Semoga Allah menerima Abi-mu disisiNya, Anakku.”
“Mana Ummi-mu, Nak?” Seorang pemuda dengan peples (tempat air minum para tentara) di tangannya mendekati Harun.
“Beliau ada disana.”
“Ayo kita kesana. Akan aku bawakan minum untuk Ummi-mu. Ini, kau minum dulu!”
“Tidak. Aku tidak akan minum air ini sebelum Ummi meminumnya lebih dulu.”
Harun bersama dengan dua pejuang Palestina itu menghampiri Ummi Aina. Mereka kaget melihat Ummi Aina yang sedang mengandung.
“Ummi, berapa usia kandungan Ummi?”
“Sudah sembilan bulan.”
“Masya Allah. Semoga anak dalam kandungan Ummi mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah SWT.”
“Amien ya Allah. Syukran Akhi atas airnya.”
“Afwan, Ummi. Sekarang Ummi mau kemana?”
“Entahlah, aku khawatir sebentar lagi waktunya bayi dalam kandunganku ini akan lahir.”
“Sekitar setengah jam lagi akan ada mobil patroli yang lewat, Ummi bisa ikut dalam mobil patroli itu. Mereka akan mengantarkan Ummi ke rumah sakit.”
“Alhamdulillah, Maha Besar Allah. Terima kasih, Akhi. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.” Ummi Aina menitikan air mata.
Bagi beliau, saat-saat ini merupakan saat yang berat. Bertahan hidup dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah. Kini hanya Harun-lah yang Ummi Aina miliki. Keluarganya sudah berpulang ke Illahi saat rumah mereka dibom oleh para zionis Israel.
“Ummi, kalau adikku lelaki, akan aku beri nama Firdaus. Kalau adikku perempuan, akan aku beri nama Fatimah.” Sebuah senyuman menghias di wajah Harun.
“Subhnallah, nama yang indah sekali, Anakku.”
Senyum yang menggetarkan jiwa siapa saja yang menatapnya. Di tengah berkecamuknya perang ini, masih ada senyuman yang terselip disana. Mencoba menghibur mereka yang dirundung duka.
Meyakinkan hati ini, bahwa sesudah kesusahan itu ada kemudahan. Sesudah penderitaan pasti ada kebahagiaan. Dan Allah akan selalu bersama orang-orang yang bersabar.
“TENTARA ISRAEL MENYERANG!!! SIAGA! SIAGA!!!”
Sebuah mobil patroli berhenti tepat di depan pos jaga. Beberapa pemuda dengan senapan bergelantungan di tubuh mereka keluar dari dalam mobil. Mereka menatap Harun juga Ibunya dengan tatapan yang tak dapat dimengerti.
“Ummi, maaf.” Salah satu pemuda yang keluar dari dalam mobil itu menghampiri Ummi.
“Ada apa, Nak?”
“Kami hanya bisa membawa satu orang saja.”
“Kenapa? Bagaimana dengan anakku Harun?”
“Maaf Ummi. Kami hanya bisa membawa satu orang saja agar kami bisa lolos dari pemeriksaan di perbatasan nanti.”
“Aku tidak akan meninggalkan Harun. Lebih baik kalian tinggalkan saja kami.” Ummi Aina memeluk Harun erat.
Sebuah suara meriam terdengar. Tanda bahwa para zionis-zionis semakin mendekat. Disusul oleh jeritan-jeritan yang memilukan hati. Yang bisa menyelamatkan diri berlari sekencang-kencangnya. Yang terperangkap bukan berarti berputus asa.
“SYAHID!! SYAHID!! ALLAHU AKBARRRR!!!”
Ummi Aina semakin erat memeluk Harun. “Aku tidak akan meninggalkan anakku.”
“Ummi.” Dengan lembut Harun menenangkan ibunya. “Ummi harus ikut dengan paman ini. Agar adik bayi selamat. Harun nanti akan menyusul Ummi di rumah sakit. Ya, Ummi.”
“Harun, Ummi tidak akan meninggalkanmu, Nak.”
“Tidak, Ummi. Ummi tidak meninggalkan aku. Harun tetap ada disini, di hati Ummi. Jangan khawatir, Ummi. Aku bersama mereka. Orang-orang tangguh yang dimiliki Palestina.”
Ummi menatap anak semata wayangnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak percaya Harun akan mengatakan hal itu. Sungguh sangat menenangkan hati.
“Ummi mencintaimu, Nak.”
“Harun juga mencintaimu, Ummi.” Dikecup kening Ummi Aina lembut.
“Ayo Ummi, kita harus cepat.” Pemuda itu membantu Ummi berjalan menuju mobil jeep mereka.
“Jaga dirimu baik-baik, Anakku!!”
“Iya, Ummi. Insya Allah.”
Jeep semakin melaju meninggalkan pos. Bayangan bocah kecil bernama Harun itu semakin tak terlihat. Tak ada kata yang dapat diucapkan Ummi Aina. Ia sudah kehilangan suaminya, haruskah kini ia kehilangan putranya?

Gencatan senjata bukan hal yang mungkin terjadi saat ini. Terlalu banyak letupan senjata api, terlalu banyak bom-bom yang sudah berbunyi nyaring menghiasi bumi, terlalu banyak nyawa-nyawa yang tak berdosa melayang begitu saja.
“UMMIIII!!!!!!” Teriaknya.
“HARUN!!”
Ummi Aina tersadar dari pingsannya. Sebuah mimpi buruk menyapa. Beliau memimpikan putranya, Harun yang tampan dan sholeh terkulai tak berdaya dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya.
“Ummi, Alhamdulillah Ummi sudah sadar. Ini anak Ummi, perempuan. Sangat cantik. Semoga menjadi anak yang sholehah.”
“Namanya Fatimah.” Ucap Ummi Aina diiringi senyuman.
Untuk pertama kalinya Ummi Aina menimang anak perempuannya itu. Bayi mungil tanpa dosa yang lahir ditengah kemelut Palestina. Tangisnya juga menghiasi langit-langi Palestina yang merah oleh api.
“Ummi Aina.” Sebuah suara menyapa Ummi Aina.
“Akhi…..”
Ummi Aina tidak tahu nama pemuda itu.. Tapi, kenangan itu amat jelas dibenak Ummi Aina. Pemuda yang memberinya air dan memberi tahu tentang mobil patroli.
“Namaku Harun, Ummi. Sama seperti nama anak Ummi.”
“Harun! Bagaimana dengan anakku, Harun?”
“Ini Ummi.” Harun menyerahkan segulung baju yang penuh dengan noda. Noda darah yang menghitam. Ummi Aina menerimanya dengan tangan bergetar.
“Ini baju anakku Harun?”
“Iya, Ummi. Dia syahid di jalan Allah.”
“Innanillahi wa innailaihi raji’un.” Didekapnya baju Harun. “Fatimah, ini baju kakakmu tercinta. Namanya Harun. Kakakmu syahid di jalan Allah, Fatimah. Padahal umurnya masih sangat muda.” Ummi memperlihatkan baju itu pada si kecil Fatimah. Seolah Fatimah yang baru lahir mengerti apa yang sedang terjadi.
“Ummi! Ummi! Ummi Aina!!!”
Perlahan mata Ummi Aina tertutup seiring dengan ucapan syahadat dari bibirnya. Beliau menyusul putranya Harun. Harun yang menjadi salah satu korban kekejaman zionis di Palestina. Beliau menyusul suami tercinta. Beliau menyusul keluarganya. Satu nyawa menambah panjang daftar nyawa tak berdosa yang melayang begitu saja dan akan tertulis dalam sejarah perang Palestina.
Sang Pemuda Harun pun menyatakan sanggup untuk bertanggung jawab atas Fatimah. “Anak ini harus hidup, akan aku rawat dia. Biarlah esok hari ia akan kembali dan menyerukan tentang tanah kelahirannya. Dia akan kembali padamu, Palestina. Dan hidup sebagai perempuan Palestina. ”

“Halo, Assalamu’alaikum, Paman.”
“Wa’alaikumsalam. Fatimah! Kau sudah sampai di Palestina, Nak?”
“Sudah, Paman. Aku melihatnya. Aku melihat tanah kelahiranku. Aku melihat semuanya.”
“Kamu ada dimana, Nak?”
“Disebuah tempat yang tenang, Paman. Tempat yang aku rasa sangat dekat dengan diriku.”
“Doakanlah Ummi-mi, Abi-mu dan saudara laki-lakimu.”
“Baik, Paman. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Ku layangkan mataku ke seluruh penjuru. Yang kulihat hanya nisan-nisan yang berjajar rapi. Kusentuh lebut sebuah nisan yang ada dihadapanku. Tertulis sebuah nama yang juga terukir di hatiku.
“Ummi, Abi, Kak Harun, aku pulang ke tanah kelahiranku. Palestina”








TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar